HARIANHALUAN.ID – Tidak terasa hitungan mundur pemilihan gubernur (pilgub) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak semakin dekat, semakin menarik untuk disimak tulisan para pakar mengenai para calon kandidat yang saat ini mulai tes ombak, begitu juga tulisan seorang wartawan senior Abang Two Efly berjudul “Layu Sebelum Berkembang” Selasa 4 Juni 2024 pada padek.jawapos.com. terutama pada point terakhir membahas Sumbar Hari Ini.
Pertama sorotan beliau mengenai pertumbuhan ekonomi Sumbar seperti terjebak labirin 4,5-5,2 persen. Pertumbuhan ekonomi Sumbar memang berada di papan tengah diantara provinsi di Pulau Sumatra, namun kita jangan terjebak menjadikan pertumbuhan ekonomi semata-mata sebagai suatu indikator apakah daerah tersebut maju atau sejahtera, bagi penganut ekonomi kerakyatan pertumbuhan ekonomi bukan indikator sebuah kesejahteraan atau kemajuan.
Ada indikator lain yang digunakan untuk melihat apakah pertumbuhan ekonomi tersebut benar-benar membawa kesejahteraan bagi masyarakat atau hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Indikator lain yang digunakan untuk melihat pembangunan tersebut inklusif atau tidak, pertama adalah gini ratio yang menggambarkan pemerataan dan ketimpangan secara keseluruhan mulai dari pendapatan hingga distribusi, angka gini ratio Sumatra Barat tahun 2023 menurut data BPS adalah 0,280 peringkat 3 terbaik secara nasional, lebih baik dari rata-rata nasional yang berada pada angka 0,388.
Kedua adalah tingkat kemiskinan, pada tahun 2023 kemiskinan di Provinsi Sumatra 5,90 persen. Kondisi ini jauh lebih baik dari angka kemiskinan rata-rata nasional yang mencapai 9,36 persen. Angka kemiskinan ekstrem di Sumatra Barat pada tahun 2023 berada pada 0,41 persen dan kondisi ini juga jauh lebih baik dari rata-rata nasional yang berada diangka 1,47%. Banyak provinsi yang mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi bisa kita jadikan sebagai pembanding, terutama yang menggunakan sumber daya alam sebagai basis pertumbuhan ekonominya, provinsi tersebut mengalami tingkat ketimpangan yang luar biasa dan permasalahan tingginya angka kemiskinan masyarakatnya.
Pembangunan inklusif harus dilihat dari berbagai aspek, tidak semata-mata hanya satu aspek pertumbuhan ekonomi saja, karena kita kenal dengan hukum pareto, dimana setiap pertumbuhan 80 persennya dinikmati oleh 20 persen kelompok masyarakat, dan 20 persen lagi dari setiap pertumbuhan tersebut dinikmati oleh 80 persen kelompok masyarat yang lain. Sehingga menjadikan satu-satunya pertumbuhan ekonomi sebagai indikator kesejahteraan akan berujung kepada meningkatnya ketimpangan dan meningkatnya kemiskinan. Indikator lain yang dapat digunakan disamping gini ratio adalah dari kondisi perkembangan kemandirian desa yang dipotret melalui Indek Desa Membangun (IDM). IDM ini memotret ketimpangan wilayah nagari/desa.