Pada tahun 2023 walaupun terjadi penambahan 107 nagari/desa dari 928 nagari/desa ditahun 2022 menjadi 1.035 ditahun 2023, namun penambahan ini disyukuri tidak mempengaruhi kondisi IDM, karena nilai IDM terus mengalami kemajuan yang cukup signifikan, ditandai dengan meningkatnya jumlah nagari/desa mandiri dan maju, serta menurunnya jumlah desa/nagari sangat tertinggal, tertinggal dan berkembang dengan data sebagai berikut:
• Desa Mandiri pada tahun 2022 berjumlah 132 dan pada tahun 2023 meningkat menjadi 226 desa, atau bertambah 94 desa meningkat statusnya.
• Desa Maju pada tahun 2022 berjumlah 458 dan pada tahun 2023 meningkat menjadi 486 desa, atau bertambah 28 desa meningkat statusnya.
• Desa Berkembang pada tahun 2022 berjumlah 310 dan pada tahun 2023 berkurang menjadi 298 desa, atau berkurang 12 yang disebabkan meningkat statusnya menjadi mandiri dan maju.
• Desa Tertinggal pada tahun 2022 berjumlah 28 dan pada tahun 2023 berkurang menjadi 25 desa, atau berkurang 3 desa yang disebabkan meningkat statusnya menjadi mandiri dan maju.
• Desa Sangat Tertinggal tahun 2022 sudah tidak ada lagi dari semula ada tiga desa pada tahun 2021.
Untuk melihat kemajuan penduduk suatu daerah, khususnya pada indikator kesejahteraan sosial dalam pembangunan ekonomi adalah Indek Pembangunan Manusia atau IPM. Berdasarkan data Badan Pusat Statisik (BPS), IPM Sumatra Barat Tahun 2023 (basis data sensus 2020) adalah 75,64. Data ini menunjukan IPM Sumbar lebih tinggi dibandingkan dengan IPM rata-rata nasional, yaitu sebesar 74,39 dan merupakan nomor 7 tertinggi secara nasional atau nomor 2 tertinggi di Pulau Sumatra. Kondisi ini lebih baik dari kondisi 2022, dimana Sumatra Barat berada diperingkat 9 secara nasional dan peringkat 4 di Sumatra.
Pada dasarnya mari kita hayati kembali sila ke-5 dari Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila ini mengamanatkan mari tumbuh bersama secara adil, bukan hanya sekedar mengejar pertumbuhan yang tinggi, tapi kemudian menimbulkan ketimpangan yang semakin memperlebar jurang antara yang miskin dengan yang kaya.
Hal kedua, yang dibahas adalah minim investasi. Setelah Supreme Energy, tak ada lagi investasi besar yang masuk ke Sumbar. Untuk mengungkit ekonomi, Sumbar sangat membutuhkan investasi. Investasi memang dibutuhkan, tapi dari kacamata mana kita melihatnya, apakah investasi dalam bentuk pabrik-pabrik gemerlap ataukah investasi yang tumbuh dari pengusaha lokal dan UMKM-UMKM yang mulai berkembang.
Manakah yang sebenarnya lebih baik? Dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal RI tercatat peningkatan realisasi investasi di Sumatra Barat, dimana pada tahun 2022 Realisasi Investasi PMA (Penanaman Modal Asing) sebesar US $95.654.000 dan Realisasi Investasi PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) sebesar Rp2.559.750.700.000 dan meningkat cukup signifikan pada tahun 2023 dengan realisasi PMA (Penanaman Modal Asing) sebesar US $120.658.500 dan Realisasi Investasi PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) sebesar Rp5.473.500.000.000, realisasi investasi terbesar PMDN adalah UMK (Usaha Menengah Kecil) yang menandai pulihnya kondisi ekonomi masyarakat yang sempat lumpuh karena Covid-19 pada kurun waktu 2020–2022.
Realisasi investasi ini juga berbanding lurus dengan menurunnya angka pengangguran yang sempat melonjak akibat Covid dan mencapai angka 6,88% ditahun 2020 dan kemudian menurun pada angka 5,79% pada data BPS di Februari 2024. Menariknya, realisasi dari UMK inilah yang sebenarnya memperbaiki ketimpangan ekonomi dan sekaligus mengurangi angka kemiskinan seperti yang kami uraikan di atas.