Antara Kotak Kosong dan Asa Demokrasi Kota Solok

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No.60/PUU-XXII/2024 berhasil mengejutkan banyak pihak, karena mengubah ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah di Pilkada Serentak 2024.

Keputusan MK yang merevisi sejumlah pasal dalam undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 20 Agustus 2024 lalu, membawa angin segar dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2024 hampir di seluruh wilayah Indonesia yang tinggal menghitung hari.

Faktanya, pada beberapa daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) nyaris mengusung pasangan calon tunggal. Artinya pada pilkada nanti, paslon ini akan bertarung menghadapi kotak kosong.

Meski dalam konstitusi negara ini hal tersebut halal, namun banyak pihak menyayangkan fenomena itu sebagai era kemunduran dan kemerosotan demokrasi. Semuanya tak lepas dari ambisi berlebihan.

Lebih tepatnya kerakusan akan kekuasaan. Padahal jabatan itu sejatinya amanah nan mesti dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Kondisi ini juga menggambarkan buruknya kaderisasi dalam internal parpol karena tak mampu mengusung kader sendiri.

Bagi kandidat (Paslon) itu sendiri, keberhasilan mengumpulkan mandat dari mayoritas Parpol sebagai tiket masik Box Start Pilkada, dianggap sebagai sebuah kemenangan awal sebelum perang. Walaupun sesuai ketentuan hanya mensyaratkan dukungan 20 persen dukungan dari perolehan kursi di parlemen. Ada rasa angkuh dan jumawa.

Jika semua dukungan parpol sudah ditangan, tentu tak akan ada lagi kesempatan bagi kandidat lain. Kalau mau menang, jangan kasih orang peluang untuk melawan, begitu benarlah. Namun demikian, kondisi ini tentu akan menimbulkan resistensi yang cukup tinggi.

Pertama, untuk beroleh dukungan parpol, tentu kandidat harus merogoh kantong, agar mandat bisa di tangan. Ingat, tak ada makan siang yang gratis. Kecuali untuk buang angin (kentut) semuanya sekarang berbayar.

Jika paslon ini menang, tentu ada upaya pengembalian hutang modal yang telah dibenamkan ke kantong Parpol pengusung sebelumnya. Tak semua kandidat punya modal finansial yang mumpuni.

Mayoritas mereka mengandalkan partisipasi dari pihak ketiga sebagai penyandang dana. Bisa atas nama hutang yang harus dicicil pembayarannya, bisa juga dalam bentuk lain seperti cawe-cawe APBD, bagi-bagi proyek salah satunya dan peluang investasi di daerah tersebut melalui kebijakan Kepala daerah.

Kedua, modal Pilkada yang lumayan besar itu, otomatis akan menyeret kepala daerah terpilih kedalam pusaran kepentingan sang pemodal. Kepentingan masyarakat itu perkara belakangan.

Dari perspektif masyarakat, kotak kosong berarti hilangnya alternatif pilihan. Pilkada seharusnya memberikan pilihan kepada masyarakat untuk memilih calon pejabat publik terbaik.

Namun, ketika hanya ada satu calon melawan kotak kosong, masyarakat kehilangan kesempatan untuk memilih berdasarkan penilaian yang adil dan berdasarkan hati nurani. Demokrasi yang sehat melibatkan masyarakat dalam semua tahap proses Pilkada, dari seleksi hingga pemilihan.

Fenomena kotak kosong dalam Pilkada tidak hanya mencerminkan demokrasi yang tidak sehat tetapi juga kegagalan institusi politik dalam menjalankan fungsi mereka. Untuk mencapai tujuan Peace, Justice, and Strong Institutions, diperlukan partai politik yang mampu menjalankan fungsi seleksi dan kaderisasi dengan baik, membangun kepercayaan dengan masyarakat, serta merumuskan kebijakan yang relevan dan visioner.

Keputusan MK telah mengejawantahkan harapan banyak orang dalam membangun sistem demokrasi yang berkeadilan. Konstelasi politik pun berubah, partai gurem non parlemen yang selama ini hanya menjadi “pelengkap-penderita” dalam setiap alek Pilkada, keberadaannya tak diperhitungkan, kini mendapat angin segar.

Keberadaan mereka mulai dilirik. “bak sikuduang dapat cincin”, serupa beruk dapat pamenan, riang nya alang kepalang. Suara yang didapat dari hasil Pemilu Legislatif tempo hari kini sudah ada harganya.

Kalau tak cukup nan ada, bisa bergabung dengan parpol non parlemen lainnya untuk bisa mengusung kandidat pula.

Pilkada Kota Solok Fenomena Kotak Kosong sebelumnya diprediksi tak hanya terjadi pada Pilkada DKI Jakarta atau beberapa provinsi lainnya di Indonesia, namun juga merambah kepada sejumlah Kabupaten-Kota. Tak terkecuali di Kota Solok.

Wacana itu bukan tanpa alasan. Petahana Ramadhani Kirana Putra yang sebelumnya merupakan Wakil Walikota Solok menggandeng mantan Sekretaris Daerah Kota Solok Suryadi Nurdal sebagai wakil Walikota.

Paslon ini berhasil mengumpulkan mayoritas dukungan dari parpol peraih kursi di parlemen. Angkanya pun fantastis di angka 80 persen lebih kurang.

Setidaknya ada tujuh parpol parlemen yang sudah memberikan rekomendasi mengusung paslon ini. Yaitu, Gerindra (2 kursi), Golkar (3 kursi), Nasdem (3 kursi), Hanura (2 kursi), PKS (2 Kursi), Demokrat (2 kursi) dan PAN (2 kursi). Sementara dua parpol parlemen lainnya yaitu PBB (2 kursi) dan PPP ( 2 kursi) nyaris diembat juga.

Dhani-Suryadi sudah tegak tali. Namun bersamaan dengan keluarnya putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan pilkada tahun 2024, harapan Nofi-Leo kembali muncul.

Puncaknya, saat PBB dan PPP akhirnya “memilih” menyerahkan dukungannya kepada paslon Nofi Candra – Leo Murphy. Sehingga wacana Pilkada melawan kotak kosong pada pilkada 2024 di Kota Solok pun menjadi buyar.

Kehadiran paslon Nofi-Leo sebagai penantang petahana dianggap sebagai pejuang yang telah mengembalikan marwah demokrasi. Nadi demokrasi di kota kecil itupun kembali berdenyut kencang. Hingar bingar pilkada kembali terdengar dinamis. Dinamika politik memang cukup tinggi.

Kondisi ini nyaris membuat sang penantang NC-LM putus asa. Pasalnya mandat dua parpol terakhir (PPP dan PBB) sebetulnya selangkah lagi sudah ditangan sang petahana. Namun Tuhan belum mentakdirkan Kota Solok membuat sejarah melawan kotak kosong.

Ironis memang, Nofi yang sebelumnya tercatat sebagai kader Gerindra dan pada Pemilu Legislatif kemaren, maju sebagai calon legislatif DPR RI dari Gerindra untuk dapil Sumbar I, harus pasrah ketika surat rekomendasi dari partai besutan Prabowo Subianto itu lepas ke tangan non kader.

Tapi itulah politik, semua bisa berubah. Dinamikanya susah ditebak. Tak salah kalau orang berkata, dalam dunia politik tak ada yang abadi, selain kepentingan. Pun demikian halnya dengan Parpol. Hari ini mereka lebih cenderung berpikir pragmatis ketimbang realistis.

Terlepas dari itu semua, Pilkada Kota Solok 2024 ini tetap akan menarik untuk disimak. Hampir dipastikan, “head to head” antara Dhani-Suryadi dengan Nofi-Leo tak akan terelakkan.

Pilkada sejatinya bukan ajang adu kuat dan adu kuasa, tapi adu gagasan, visi dan program inovatif demi kemaslahatan dan kemakmuran masyarakatnya. Kedua paslon merupakan putra terbaik dari kota beras serambi Madinah itu.

Siapa nan piawai merebut simpati 55.000 lebih pemilih di daerah itu, akan menjadi pemimpin berikutnya. Kita nan masyarakat badarai ini tentu berharap Kota Solok, kota idaman tak hanya sekedar cerita pemanis kopi pagi semata, namun benar-benar bisa diwujudkan oleh pemimpin terpilih.

Dinamika boleh tinggi, namun tak sampai merusak silaturahmi. Walaupun terkadang dalam prosesnya kerap kali tadah ini lebih panas dari pada gelasnya. (*)

Exit mobile version