HARIANHALUAN.ID – Sepuluh tahun pas keberadaan Komisi Informasi Sumatra Barat (KI Sumbar). Lembaga ini tidak lembaga swadaya masyarakat (LSM), tapi dia dibentuk karena perintah tegas UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Komisi Informasi Provinsi di UU 14 Tahun 2008 sifatnya wajib dibentuk, pembentukannya dilakukan oleh Gubernur dan DPRD lewat seleksi, lalu keberadaan lembaga ini difaslitasi oleh APBD provinsi.
Sepuluh tahun Komisi Informasi Sumatera Barat, tidak mudah melahirkannya, ada aksi koalisi masyarakat sipil Sumbar, ada adu argumen antar legislator dan eksekutif, lalu siapa yang akan terplih menjadi punggawa (komisioner) pertama yang bertugas meletakan dasar kerja dan mengawal keterbukaan informasi publik itu.
Juga faktor ekternal, karena Sumbar dalam fase recovery pascagempa Sumbar 2009. Tapi, semangat melandasi pikiran bahwa Keterbukaan Informasi Publik ada kata kunci atas penyelenggaraan pemerintahan yang terbuka, bersih dan baik, oleh UU lembaga yang menjalankannya adalah Komisi Informasi.
Dasar-dasar itu pro kontra pembentukan KI Sumbar pun punah, terbukti proses seleksi oleh panitia seleksi, sampai fit and propert test oleh Komisi III DPRD Sumbar, berjalan lancar. Bahkan uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III herdasarkan makalah masing calon yang lolos tahapan seleksi panitia seleksi.
Banyak topik calon komisioner itu tentang korupsi, apa kaitannya dengan keterbukaan informasi publik. Ternyata antara keterbukaan dengan antisipasi korupsi sangat erat sekali, terbuka itu jujur, jujur itu hebat.
Sifat dasar manusia adalah curiga, meski sudah terbuka informasi badan publik bahkan sudah berlabel badan publik informatif (penilaian tertinggi pengelolaan informasi publik,red), tetap saja publik curiga,sebuah kewajaran.
Tapi keterbukaan informasi publik adalah godam pemukul perilaku korupsi ada benarnya. Para founding regualtion UU 14 tahun 2008 tentu punya alasan ilmiah dari sebuah regulasi dilahirkan.