Oleh: Dr. Drs. M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu, M.Pd. (Ketua Pujian ABS-SBK HAM/Dosen UBH)
Pusat Kajian Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Hukum Adat Minangkabau (Pujian ABS-SBK HAM) kali ini mengkaji fenomena istidraj jika dilihat dari sudut pandang syarak dan adat.
Tidak sedikit orang yang lalai dalam ibadah justru diberikan harta yang berlimpah dari Allah SWT. Dalam Islam, kenikmatan dunia itu disebut dengan istidraj. Allah SWT melimpahkan rezeki, kebahagiaan, dan kenikmatan dunia lainnya kepada setiap orang yang Dia kehendaki. Kenikmatan tersebut bisa menjadi peringatan akan azab Allah apabila diberikan kepada orang yang sering melalaikan ibadah dan merasa tenang dalam maksiatnya.
Peringatan istidraj termaktub dalam Surat Al An’am ayat 44, yang artinya: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus-asa.”
Dalam tafsir Al Azhar Jilid 3, istidraj menurut ayat di atas artinya dikeluarkan dari garis lurus kebenaran tanpa disadari. Allah SWT memperlakukan apa yang dia kehendaki, dibukakan segala pintu, hingga orang tersebut lupa diri. Ibaratnya tidak ingat bahwa sesudah panas pasti ada hujan, sesudah lautan tenang gelombang pasti datang. Mereka dibiarkan berbuat maksiat dengan hawa nafsunya hingga tersesat jauh. Lalu, siksaan Allah datang sekonyong-konyong. Dalam Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali, istidraj artinya pembiaran. Yaitu, pembiaran karena tidak mau berhenti melakukan hal-hal yang memalukan (maksiat). Istidraj merupakan peringatan keras dari Allah SWT.
Malik Al-Mughis dalam bukunya yang berjudul Demi Masa menjelaskan, istidraj adalah pemberian kesenangan untuk orang-orang yang dimurkai Allah agar mereka terus-menerus lalai. Hingga pada suatu ketika semua kesenangan itu dicabut oleh Allah, mereka akan termangu dalam penyesalan yang terlambat.
Orang mukmin akan merasa takut dengan istidraj, yakni kenikmatan semu yang sejatinya murka Allah SWT. Namun sebaliknya, orang-orang yang tidak beriman akan beranggapan bahwa kesenangan yang mereka peroleh merupakan sesuatu yang layak didapatkan. Biasanya, istidraj diberikan kepada orang-orang yang mati hatinya. Mereka adalah orang yang tidak merasa bersedih atas ketaatan yang ditinggalkan dan tidak menyesal atas kemaksiatan yang terus dilakukan.
Cara termudah untuk membedakan kesenangan yang datangnya dari kemurkaan Allah dengan istidraj adalah ketakwaan. Jika orang tersebut taat dalam beribadah, bisa jadi nikmat yang diterima adalah kemurkaan Allah. Begitupun sebaliknya, apabila orang tersebut lalai dalam ibadah bisa jadi itu merupakan istidraj.
Salah satu peran pemangku adat terhadap anak cucu kemenakan adalah manyuruah ka nan baiak, mambao ka nan elok (menyuruh pada yang baik dan membawa pada yang elok). Artinya, mungkin ada saja anak cucu kemenakan yang suka berfoya-foya atas kenikmatan yang dimilikinya. Tetapi pemangku adat tidak mampu memberikan tunjuk ajar kepadanya. Sehingga terjadi pembiaran. Melakukan pembiaran lama-kelamaan menjadi tradisi atau kebiasaan. Lebih parah lagi dikatakan menjadi adat istiadat.
Kalau istidraj sudah dikatakan adat istiadat, maka sudah jauh menyimpang dari ajaran ABS-SBK atau hukum adat Minangkabau. Pemangku adat perlu memperhatikan anak cucu kemenakan yang suka berfoya-foya memperlihatkan kenikmatan dunia, bahkan dipamerkan kepada khalayak ramai. Padahal kenikmatan dunia itu hanya kenikmatan sementara. Dalam kajian adat, rahmat untuk diraso sedangkan nikmat untuk dipareso. Artinya, rahmat dunia itu dirasakan hanya sementara, sedangkan nikmat dirasakan selamanya. Selamanya dirasakan di akhirat kelak. Sekiranya orang hanya memerlukan nikmat dunia saja, maka dia tidak akan dapat nikmat di akhirat. Rahmat dan nikmat akhirat itu adalah dambaan bagi orang yang beriman dan berakal sehat. (*)