PADANG, HARIANHALUAN.ID- Jaga semangat literasi, khususnya budaya baca dan menulis di kalangan mahasiswa, pelajar serta penggiat literasi, Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sumbar melaksanakan kegiatan bedah novel “Gaza Tak Pernah Sunyi” karya Prof. Hardisman. Kegiatan ini dilaksanakan di Aula Kantor Gubernur Sumatera Barat, Sabtu (4/10).
Novel yang dibedah merupakan karya Prof. dr. Hardisman, M.HID, Dr.PH., seorang dokter dan juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Andalas yang peduli dengan Palestina dan Gaza.
Novel tersebut berkisah tentang seorang dokter yang ditugaskan untuk menjadi relawan ke Gaza, Palestina. Meskipun sebuah karya fiksi, novel ini seperti kisah nyata. Hardi sapaan Prof Hardisman berhasil menceritakan luka, kesedihan, dan penderitaan serta kondisi warga Gaza dari kacamata seorang dokter melalui tokoh ceritanya yang bernama Dokter Adrian Hazim Malik.
Novel ini dibedah oleh Ragdi F Daye seorang penulis dan sastrawan Sumatera Barat serta akademisi dan dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Dr. Elly Delfia, S.S, M. Hum.
Kedua pemateri mengatakan novel tersebut benar-benar amat menyentuh hati nurani. Diksi yang digunakan berdaging dan bergizi. Buku tersebut betul direkomendasikan untuk dibaca. Kegiatan bedah buku yang dimoderatori oleh Ulul Ilmi Arham ini dibuka secara resmi oleh Bunda Literasi Sumbar, Harneli Mahyeldi.
Sementara selaku ketua panitia, Fadhilah menyampaikan acara ini bertujuan untuk meningkatkan budaya literasi di kalangan siswa SD, SMP, SMA, dan mahasiswa di Perguruan Tinggi, dan juga bagi beberapa tokoh masyarakat yang turut hadir dari Payakumbuh, Bukittinggi, Padang Pariaman, Kota Pariaman, dan Pesisir Selatan.
Lindawati, S.S., M.Pd. selaku Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Sumatera Barat mengucapkan terima kasih, kepada seluruh pihak panitia, pengurus, dan juga peserta bedah buku.
Dalam kesempatan itu Linda memaparkan tentang FLP Sumbar. “FLP Sumbar merupakan organisasi kepenulisan yang mempunyai 140 anggota yang mempunyai NRA (Nomor Registrasi Anggota) dan berlaku untuk seluruh wilayah dan FLP cabang se-Indonesia bahkan di luar negeri, seperti Jepang dan Mesir.
Ia menyebut, keanggotaan dalam FLP Sumbar memiliki tiga macam kategori, anggota muda, madya, dan andal. FLP Sumbar sebagai organisasi kepenulisan memiliki tiga pilar; ke-Islaman, kepenulisan, dan keorganisasian. Kemudian, FLP Sumbar saat ini yang aktif dan sudah mempunyai kepengurusan baru adalah FLP Cabang Padang, FLP Cabang Pariaman Sekitar, FLP Cabang Payakumbuh dan Lima Puluh Kota.”
Bunda Literasi Sumatera Barat, Harneli Mahyeldi mengungkapkan kepedulian Palestina terhadap Indonesia sudah ada sejak dahulu kala. Ketika dijajah hingga menyatakan kemerdekaan, Palestinalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
“Sekarang, Palestina sedang dijajah oleh Israel, kita harus mendukung dan peduli terhadap mereka kata Bunda Harneli. Ketika terjadi gempa 2009 di Padang, mereka datang untuk membantu kita. Maka dalam hal ini bukan hanya melalui bedah buku, melainkan kepedulian terhadap Palestina harus kita tunjukkan melalui berbagai hal, seperti memberikan sumbangan, mendoakan, dan lainnya,” jelas Harneli saat membuka kegiatan ini.
Ulul Arham saat memulai diskusi untuk pembahasan bedah buku ini mengungkapkan rasa kepedulian terhadap kondisiPalestina hari ini. “Bahwa pena bisa, memberikan perlawanan terhadap zionis Israel,” ungkapnya.
Selaku penulis buku Gaza tak Pernah Sunyi, Prof. Hardi menjelaskan bahwa isi bukunya tentang sejarah Palestina dari Hamas, tahun 1948 setelah perang dunia kedua. Yahudi kembali ke Palestina dan disambut baik oleh Palestina.
“Di kala itu, Semua kegiatan seperti izin masuk ke Israel tidak ada untuk Palestina.” ungkap penulis tersebut. Gaza bukan sebuah daerah sebesar RT dan RW, di sana ada 12 universitas, ada Masjid Al Aqsa yang bersejarah. Semua cerita novel itu fiksi, dokter itu juga fiksi, tetapi cerita tentang Palestina dengan kondisi dalam novel itu menggambarkan kondisi yang sebenarnya, ungkapnya lagi.
Pembedah buku, Dr. Elly Delfia menyampaikan bahwa Gaza adalah gambaran luka dan penderitaan rakyat Palestina. Gaza tak penah sunyi adalah sebuah paradoksitas yang getir. Sebuah realitas kehidupan yang selalu ramai dan riuh, tetapi bukan oleh kegembiraan, kesenangan, dan canda tawa. Namun, Gaza tak pernah sunyi oleh suara dentuman bom, dengungan drone, pesawat pengintai tanpa awak, suara tembakan, lemparan batu para intifadah, dan juga suara tangisan anak-anak yang terluka serta suara azan yang terus berkumandang di langit Gaza.
Demikian sejarah Gaza telah menginspirasi banyak penulis untuk menceritakannya kembali kisah mereka tentang kejahatan kemanusiaan yang tiada henti, seperti novel yang ditulis oleh Prof. Hardisman.
“Kekurangan novel terletak pada karakter tokohnya kurang kuat dan hal itu menjadi titik kelemahan novel ini. Selebihnya, novel ini amat layak disebut karya besar yang mirip dengan karya Hamka dan penulisnya layak disebut sastrawan” tutup dosen Universitas Andalas ini.
Ragdi juga menyampaikan hal yang sama, novel ini memang mengalir, menggugah pembaca. “Kisah Dokter Adrian menjalankan misi kemanusiaan memberi gambaran yang terjadi, tetapi isi buku ini belum mengeksplorasi tokoh-tokoh secara mendalam. Pengembangan konflik masih gantung dalam cerita ini dan hal itu menjadi titik lemah buku,” ungkapnya.
Bagian akhir novel mengisahkan perjalanan panjang mengitari Yordania hingga akses masuk ke dalam Gaza. “Tentunya, buku ini menjadi inspirasi pembaca untuk terus membela dan memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan bagi Palestina,” tutupnya. (*)