Kemudian Surat Keterangan Pemerintah Desa Betumonga Nomor 472/272/SK/DS-BTM/IX-2022, Klarifikasi dari Dinas Kehutanan Sumbar UPTD KPHP Mentawai yang menyebut ±736,27 hektare berada di luar kawasan hutan dan PIPPIB, serta Surat Bupati Kepulauan Mentawai Nomor 500.4.3.15/144/Bup tertanggal 17 Maret 2023 yang menyatakan pemerintah daerah tidak keberatan atas pemanfaatan lahan oleh masyarakat.
Dalam pernyataan sikap yang diserahkan kepada DPRD dan Bupati Kepulauan Mentawai, masyarakat adat Taileleu mengajukan delapan tuntutan utama, di antaranya:
1. Mencabut plang Satgas PKH di wilayah adat Betumonga.
2. Menolak kriminalisasi masyarakat adat dan mitra usaha lokal.
3. Membentuk tim klarifikasi dan delimitasi wilayah adat yang melibatkan tokoh adat, akademisi, BPN, dan instansi teknis.
4. Mendesak penerbitan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA).
5. Menuntut pemulihan hak ekonomi masyarakat akibat penghentian aktivitas di lahan APL.
Selain itu, mereka meminta agar penetapan batas wilayah dilakukan secara partisipatif dan pemerintah tidak lagi menggunakan dasar hukum kehutanan untuk mempidanakan aktivitas ekonomi masyarakat adat di lahan yang telah memiliki alas hak.
“Aksi ini bukan bentuk perlawanan terhadap pemerintah, tetapi panggilan moral untuk menegakkan keadilan,” ujar Mangasa dengan nada tegas namun tenang.
“Kami tidak ingin konflik. Kami hanya ingin kepastian. Kami tidak menentang negara. kami ingin negara menghormati kami,” tuturnya.
Warga berharap DPRD dan Bupati Kepulauan Mentawai segera menindaklanjuti aspirasi mereka dengan langkah konkret, termasuk pembentukan tim bersama untuk meninjau dan memastikan kejelasan status tanah adat Taileleu di Betumonga. (*)














