Ada Apa Ya! Developer Griya Elok Town House Beserta 4 Tergugat Lainnya Digugat Kaum Sikumbang di PN Padang

HARIANHALUAN.ID – Pengadilan Negeri (PN) Kelas I A Padang menggelar sidang kasus perkara perdata Nomor 253/PDT.G/2022/PN.PDG, Kamis (23/12/2022). Namun pada sidang perdana tersebut terpaksa diundur.

Majelis hakim yang diketuai oleh Khairul didampingi dua Hakim Anggota I Gunawan dan Hakim Anggota II Yopi, serta Panitera Pengganti Yulizar akan menggelar sidang kembali pada Kamis (19/1/2023).

Alasan majelis hakim menunda sidang tersebut, dikarenakan para penggugat yakni Sofyan Ma’Aroef sebagai tergugat I, Zulaini sebagai tergugat II, Darviani sebagai tergugat III, Rosnida tergugat IV dan Gino tergugat V, serta ATR/BPN Padang sebagai turut tergugat tidak hadir dalam persidangan.

Kuasa hukum penggugat, Anda Simon mengatakan, pihaknya sangat menyanyangkan terhadap para tergugat tidak menghadiri pada sidang perdana yang digelar di PN Kelas I A Padang. Meski demikian, ia berharap pada sidang selanjutnya yang telah diputuskan majelis hakim para tergugat hadir.

Berdasarkan kutipan gugatan Penggugat yang dimasukan ke PN Kelas I A Padang, kata Anda Simon, bahwa penggugat I yang bernama Asep Rukiat dinyatakan sebagai Mamak Kepala Waris (MKW) Suku Sikumbang dan penggugat II yang bernama Doni Hendra, merupakan anggota kaum Suku Sikumbang yang beralamat Kampung Sikumbang, RT/RW 004/004, Kelurahan Lolong Belanti, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang.

Ia menjelaskan bahwa dahulunya pada 1874 tanah objek perkara sebidang tanah di Jalan Belanti Raya Indah, Kelurahan Lolong Belanti, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang, adalah merupakan tanah harta pusaka tinggi kaum Suku Sikumbang (kaum penggugat). Dimana objek perkara tersebut dahulunya merupakan tanah sawah garapan kaum Suku Sikumbang, yang mana bahagian termasuk ke dalam 10 piring sawah besar dan sawah piring kecil, yang dahulunya nilai sabitan padi (hasil sawahnya sebanyak 700 kulak pauh) dengan luas keseluruhan kurang lebih 9.000 M2.

Objek perkara dari keseluruhan sawah pagang gadai itu yang menjadi sengketa antara penggugat dengan tergugat dan turut tergugat sekarang ini hanya seluas 4.000 M2.

Ia menceritakan, pada 8 September 1874 di tanah objek perkara tersebut digadaikan oleh tiga anggota kaum Suku Sikumbang, yaitu almarhum Tumpin, almarhumah Ponjok, almarhum Maetek kepada almarhumah Husni (Suku Chaniago) sebanyak F440 (satuan Florin) atau gula dan setara dengan perak pada saat itu yang rinciannya sebanyak empat ratus rupiah perak putih.

Objek perkara seluas 4.000 M2 memuat poin-poin, di antaranya tanah sawah tersebut digadaikan atas dasar suka sama suka antara pemberi gadai dan penerima gadai (kaum penggugat dengan kaum tergugat II), digadaikan selama minimal 7 tahun lamanya sejak perjanjian dibuat, yaitu sejak tanggal 8 September 1874 sampai sudah lewat dengan 8 September 1881 baru bisa ditebus kembali oleh kaum Suku Sikumbang (kaum penggugat atau ahli warisnya).

Kemudian selama proses gadai masih berjalan yang boleh membuat atau yang mengarap sawah gadai adalah tetap orang kaum Suku Sikumbang atau warisnya, dengan catatan kondisi padi sehat dan padi tersebut tidak diserang oleh hama dan serta sehingga tetap menghasilkan panen yang sesuai dengan hasilnya terdahulu, yaitu sesuai dengan surat pagang gadai menghasilkan padi sebanyak 700 kulak pauh, dan bahwa pemberi gadai tidak boleh menyuruh orang lain untuk mengarap sawah pagang gadai tersebut.

Jika hasil panen padi tersebut tidak dapat padi sebanyak jumlah yang termuat di dalam surat pagang gadai, maka penerima gadai berhak untuk menggarap sendiri atau menyuruh orang lain untuk mengarap tanah sawah gadai tersebut.

Hasil sawah pembagiannya jika kaum Suku Sikumbang yang mengarap, maka pembagian hasilnya panennya adalah 2/3 untuk pengarap dan 1/3 lagi untuk kaum penerima gadai (kaum Husni dan itu berlaku sebaliknya), namun jika tanah sawah tersebut digarap oleh pemberi gadai, maka jika tanah sawah memiliki hasil panen yang gagal atau tanah sawah mengalami masalah, maka pemberi gadai harus memberi tahu penerima gadai.

Surat pagang gadai tersebut dibuat dua rangkap dengan bunyi dan kekuatan hukum yang sama. Satu dipegang oleh si pemberi gadai (kaum Sikumbang kaum penggugat) dan satu rangkap lagi dipegang oleh penerima gadai (Kaum Husni Suku Chaniago kaum tergugat II Zulaini) dan kemudian ikut ditandatangani dan disaksikan oleh Penghulu Kasang Urang Kayo Batuah, Tuo Kampuang, Kepala Kampuang, Almarhum Si Kering, Almarhum Rajo Marah.

Beberapa tahun kemudian ternyata, sekitar Tahun 1960 sawah tersebut mengalami persoalan pengairan yang kurang bagus, sehingga tidak bisa menghasilkan panen padi sebesar sebanyak 700 kulak pauh, maka Husni Suku Chaniago berhak menggarap sendiri sawah objek perkara dengan mengambil alih sawah gadai atau sawah objek perkara tersebut. Sejak tahun itu, sawah objek perkara digarap dan diambil penguasaannya oleh almarhum Husni Suku Chaniago beserta keluarganya.

Lalu almarhum Husni meninggal dunia, maka sekitar Tahun 1970 tanah tersebut dipegang penguasaanya oleh keturunan dari si penerima gadai yaitu almarhum Ipah panggilan Jipah, anak cucu dari perempuan Suku Chaniago penerima gadai atau ibu kandung dari tergugat II Zulaini.

Beberapa tahun kemudian, meninggal dunia Ipah maka penguasan sawah dikuasai oleh anak kandungnya tergugat II Zulaini, keturunan dari Ipah. Dikarenakan tanah objek perkara belum bisa ditebus oleh kaum Suku Sikumbang, maka sekitar Tahun 1970 tergugat I, Syofyan Ma’Aroef mengaku bahwa dia telah membeli sebagian tanah pagang gadai antara kaum Suku Sikumbang dengan dari keturuan Ipah, yaitu Zulaini (tergugat II) seluas 4.000 M2 atau yang disebut dalam naskah gugatan ini sebagai objek perkara.

Pada saat itu, kaum Suku Sikumbang memiliki Mamak Kepala Waris (MKW), adalah almarhum Syamsuir yang baru saja meninggal dunia pada tanggal 14 Maret 2022, mendapatkan informasi tersebut. Sehingga MKW Suku Sikumbang mempertanyakan kepada Zulaini tentang kebenaran berita tersebut, akan tetapi Zulaini mengatakan bahwa ia juga telah menyelesaikan pagang gadai atau gadai sawah dengan anggota kaum Suku Sikumbang bernama Nurbaini, anak dari almarhumah Syamsiar Mande.

Mendengar berita tersebut, almarhum Syamsuir mengatakan bahwa mana mungkin bisa pagang gadai sawah kaum Suku Sikumbang terhadap tanah objek perkara bisa diselesaikan dengan almarhumah Nurbaini, yang notabene adalah anggota kaum yang malakok atau orang pendatang di dalam kaum Suku Sikumbang atau bukan orang asli anggota kaum Suku Sikumbang. Bahwa almarhumah Nurbaini sejak dari dahulu tidak ada di dalam ranji kaum Suku Sikumbang.

“Almarhum Syamsuir tidak menerima hal tersebut, bagaimana mungkin bisa sawah pagang gadai kaum Suku Sikumbang diperjualbelikan oleh keturunan yang menerina gadai dengan anggota kaum Suku Sikumbang yang bukanlah anggota kaum asli kaum Suku Sikumbang, sehingga jual beli tersebut tidaklah benar dan sangat tidak berdasarkan hukum,” ujar Anda Simon.

Sejak saat itu, kata Anda Simon, almarhum Syamsuir hanya bisa melihat saja dan tidak bisa berbuat banyak terhadap penguasaan sawah pagang gadai atau bahkan tanah objek perkara yang beralih haknya dari kaum tergugat II Zulaini sebagai keturunan dari almarhum Husni penerima gadai sawah kaum Suku Chaniago kepada tergugat I Syofyan Ma’Aroef.

“Atas peristiwa ini tergugat I Syofyan Ma’Aroef, tergugat II Zulaini, almarhumah Nurbaini bersama-sama dugaan telah melakukan mufakat jahat dan dugaan perbuatan curang, dan serta melawan hukum melakukan perbuatan jual beli yang salah alamat dengan almarhumah Nurbaini yang notabene tidak asli anggota kaum Suku Sikumbang, maka jual beli tersebut menurut hukum tidak sah dan terlebih dari almarhumah Nurbaini seolah-olah merupakan anggota suku asli kaum Suku Sikumbang dan perbuatan mereka telah menyebabkan kerugian yang besar kepada kaum Suku Sikumbang terhadap tanah objek perkara kaum Suku Sikumbang, sehingga hilangnya hak-hak kaum Suku Sikumbang di atas tanah pagang gadai atau di atas tanah objek perkara sekarang ini yang telah di bangun Perumahan Cluster oleh tergugat V, yaitu Gino Cq Developer atau Pengembang Griya Elok Town House,” tuturnya.

Lanjutnya, pada 1980 tergugat I Syofyan Ma’Aroef menyuruh tergugat IV, yaitu Rosnida dan suaminya almarhum Marusin untuk tinggal dan menetap di sawah atau di tanah objek perkara, menggarap sawah tersebut. Akan tetapi hasil panen padi tanah sawah objek perkara tidak pernah diberikan kepada kaum Suku Sikumbang kaum, sebagai pemilik awal.

Setelah meninggal dunianya almarhumah Nurbaini, maka warisnya diteruskan oleh tergugat III yaitu Darviani yang bersama-sama dengan Syofyan Ma’Aroef, tergugat IV Rosnida Cq almarhum Marusin dan beserta Zulaini tergugat II, tetap tidak mengakui tanah kaum Suku Sikumbang dan beserta seluruh sejarah yang terjadi di atas tanah objek perkara.

Sekitar Tahun 2021, tanah objek perkara tersebut dijual oleh Syofyan Ma’Aroef kepada tergugat V, yaitu Gino Cq CV. Griya Elok Town House Cq Developer atau Pengembang Griya Elok Town House. Kemudian Gino membangun kompleks perumahan cluster, yang mana sekarang ini telah ada beberapa unit rumah di atas tanah objek perkara.

“Padahal kaum penggugat telah memperingatkan beberapa kali kepada Gino untuk tidak melakukan atau tidak membeli tanah objek perkara, dikarenakan tanah tersebut dahulunya adalah tanah kaum Suku Sikumbang yang tergadai kepada kaum Zulaini tergugat II penerima gadai sawah kaum Suku Chaniago tahun 1874. Tidak itu saja, penggugat juga telah beberapa kali menyurati tergugat V, akan tetapi tidak mendengarkannya,” ujarnya.

Setelah diselidiki oleh penggugat, ternyata Syofyan Ma’Aroef telah mendaftarkan tanah objek perkara ke Kantor ATR/BPN Kota Padang, guna untuk diterbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas tanah objek. Penggugat pun menyurati ATR/BPN untuk menghentikan segala proses penerbitan sertifikat hak milik dari sertifikat tanah objek perkara, agar tidak adanya kerugian yang dirasakan oleh penggugat dikemudian hari jika terlaksananya proses penerbitan dari sertifikat hak milik tanah objek perkara tersebut, maka berdasar hukum penggugat juga mengikutsertakan ATR/BPN Kota Padang dalam perkara ini sebagai turut tergugat.

“Tergugat V Gino sekarang ini telah melakukan pembangunan perumahan di atas tanah objek perkara, walaupun belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) terhadap pembangunan perumahan tersebut. Akibatnya perbuatan itu, tergugat V telah melanggar aturan perundang-undangan dan Perda Kota Padang tentang IMB,” tuturnya. (*)

Exit mobile version