Kenaikan transaksi mencurigakan ini tidak hanya terjadi di partai politik, melainkan juga perseorangan.”Banyak. Enggak harus partai, ya perorangan, segala macem gitu kan,” ungkap Ivan.
Ivan menjelaskan pada prinsipnya, PPATK ingin kontestasi politik ini dilakukan dengan beradu itu visi misi, bukan adu kekuatan uang, apalagi ada keterlibatan dari dana-dana yang berasal dari hasil ilegal.
Kendati demikian, Ivan tidak menjelaskan maksud dari sumber aliran ilegal yang diduga mengalir untuk kontestasi politik ini.”Ya banyak, ya kita lihat, semua tindak pidana. Waktu itu kan pernah kita sampaikan indikasi dari ilegal mining ya kan, indikasi dari macem-macem lah,” kata dia.
Lebih lanjut, PPATK mengaku sudah mengirim surat kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengenai kenaikan transaksi mencurigakan ini.”Semua sudah diinformasikan ke kpu dan bawaslu. Data sudah ada di mereka,” imbuh dia.
11 Provinsi Rawan
Sebelumnya PPATK mengindikasi sebanyak 11 provinsi memiliki risiko tinggi dana kampanye sebagai sarana tindak pidana pencucian uang (TPPU).“Ada 11 provinsi dengan rata-rata risiko tertinggi dana kampanye sebagai sarana pencucian uang bercampur dengan dana hasil illegal. Artinya, memang ada potensi dana hasil tindak pidana masuk sebagai biaya untuk kontestasi politik itu,” tuturnya.
Dari 11 provinsi itu, DKI Jakarta mencatatkan rata-rata risiko tertinggi yakni 8,95. Selanjutnya, Jawa Timur dengan rata-rata risiko 8,81. Kemudian secara berturut-turut ada Jawa Barat (7,63), Jawa Tengah (6,51), Sulawesi Selatan (5,76), Sumatera Utara (5,67), Sumatera Barat (5,67), Sumatera Selatan (5,46), Papua (5,43), Bali (5,35), dan Bengkulu (5,04).