Beberapa permainan tradisional yang dimainkan anak-anak rumah di tengah sawah seperti adu layangan, patok lele, kelereng, dan lainnya mengingatkan keasyikan pembaca pada kehidupan generasi era ’80 dan ’90-an.
Kebahagiaan anak-anak rumah di tengah sawah bersama keluarga mereka akhirnya tercederai oleh peristiwa penggusuran yang mengharuskan mereka mengubur mimpi dan meninggalkan kenangan masa kecil di lahan rumah di tengah sawah.
Redaksi Balai Pustaka memberikan catatannya pada pembukaan novel ini, bahwa kegembiraan datang silih berganti dengan kesedihan, seolah saling bertukar tempat, seperti halnya situasi serius dan tegang yang saling berselang-seling dengan canda maupun senda gurau yang mengendurkan urat-urat syaraf.
“Melalui novel ini kiranya para pembaca dapat melihat betapa semua hal di dalam kehidupan bergerak dinamis dan tidak satu pun yang diam. Semua hal bergerak menuju kondisi seimbang,” tulis Balai Pustaka.
Selain sebagai penulis, Muhammad Subhan juga dikenal sebagai motivator kepenulisan, content creator, dan pegiat literasi Padang Panjang, Sumatra Barat. Ia menggeluti dunia jurnalistik sepanjang tahun 2000—2010 dan dipercaya penyair Taufiq Ismail mengurus Rumah Puisi sekaligus menjadi Instruktur Sanggar Sastra Siswa Rumah Puisi pada 2009—2012.
Sejak tahun 2000 hingga sekarang, ia menulis cerpen, puisi, novel, esai, dan artikel di sejumlah media massa lokal dan nasional. Ia penulis undangan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2017. Puisinya terpilih tiga terbaik Banjarbaru Rainy Day Literary Festival 2019. Esainya terpilih sebagai tiga terbaik Festival Sastra Bengkulu 2019. Ia juga penerima Anugerah Literasi dari Pemerintah Provinsi Sumatra Barat (2017) dan Penerima Pin Emas sebagai Pegiat Literasi dari Wali Kota Padang Panjang (2018). Pada November 2022, ia diundang Perpusnas RI sebagai pembicara pada Perpusnas Writers Festival (PWF) di Perpusnas RI, Jakarta.