BUKITTINGGI, HARIANHALUAN.ID — Usai sudah Festival Musik Tradisi Indonesia: Pitunang Ethnogroove di malam keduanya di Lapangan Atas Ngarai, Kecamatan Guguk Panjang, Kota Bukittinggi, Sabtu (2/8/2025) kemarin. Mungkinkah pertunjukan-pertunjukan musik tradisi yang terhidang di tengah panggung selama dua malam itu terngiang di memori mereka yang hadir?
Layaknya penamaan yang diberikan pitunang — sebuah kosa kata yang berasal dari Minangkabau — diartikan sebagai “panggilan” atau “ajakan”. Barangkali sebagian, meski tak seluruhnya, pitunang itu telah memantik memori baru bagi mereka-mereka yang setia menikmati pertunjukan tersebut.
Dafa, penonton yang hadir di malam itu mengatakan pertunjukan musik tradisi ini cukup memberi kesan kepadanya. Musik tradisi disajikan secara asyik dan menarik, membuat kesan baru baginya dalam permusikan yang ternyata bisa melahirkan komposisi musik yang kekinian.
“Saya terhibur. Meski dari musik tradisi, tapi hadirnya seperti kekinian. Jadi saya senang menikmatinya. Musik tradisi ternyata bisa berkembang dengan masa kini,” katanya kepada Haluan, Sabtu (2/8/2025).
Begitu juga Pandi, seorang yang cukup mengerti dengan perkembangan musik tradisi ini memiliki nilai lain dari Pitunang Ethnogroove ini. Menurutnya, kebertahanan musik tradisi terletak dari caranya memodifikasi musik menjadi sesuatu yang dibutuhkan. Menurutnya musik tak hanya sekadar mencapai akhirnya di panggung.
“Atau pertunjukan itu bisa hidup karena punya karakter yang konsisten. Kecemasan saya dari hari ke hari musik-musik yang hanya dikomposisikan di panggung ini saja hanya akan bertahan di panggung saja, di luarnya redup lagi. Ini yang saya lihat selama ini,” ujarnya.
Ayu dan kawan-kawannya, juga menikmati pertunjukan-pertunjukan yang tersaji. Mereka sering mengabadikan momen-momen di setiap pertunjukan lewat gawainya. Meski tak begitu memahami, tapi mereka merasa terkesan.