“Asyik saja melihatnya bang. Jarang-jarang saya melihat pertunjukan seperti ini. Kami tidak begitu tahu, tapi kami menikmatinya,” ujarnya.
Feri, bersama istri dan anaknya, turut terkesima dengan tontonan yang dihadirkan Pitunang Ethnogroove ini. Ia menilai setiap pertunjukan memiliki daya tariknya sendiri.
“Mereka luar biasa dan penuh kreativitas. Energi dan semangatnya terlihat, membuat mereka gagah dengan pertunjukannya. Saya sangat mendukung kegiatan-kegiatan seperti ini, mengangkat tradisi dengan semangat dan kreativitas. Saya yakin orang-orang akan menerimanya,” katanya yang juga disetujui istrinya.
Jalannya Pertunjukan
Lapangan Atas Ngarai Kota Bukittinggi pada malam pertunjukan kedua dan sekaligus terakhir itu terlihat ramai, tapi tidak sesak. Pengunjung mengerumuni area panggung lebih dekat — mungkin saja karena dianggap malam puncaknya — agar tak ketinggalan momen pertunjukan.
Pertunjukan dibuka Ngartini Huang dari Medan, Sumatera Utara. Pertunjukan itu menemani panggung yang lembab karena dingin. Mereka berpanggung sekitar 20 menit lamanya dan para penonton berdecak kagum karena merasa melihat sesuatu yang baru di hadapannya.
Lalu disambut dengan pertunjukan Gilang Ramadhan Sawah Modtra. Pertunjukan ini semacam kolaborasi musik tradisi dan modern – serba listrik — yang dikemas terkini. Sekilas mereka mendendangkan lagu Nusantara secara melompat-lompat.
Dan setelahnya, di saat lebatnya rinai hujan, perempuan-perempuan muda memenuhi panggung. Mereka dari Ragam Raso, yang semua personelnya perempuan. Dendang, musik tradisi, dan balutan gitar dan alat musik modern lainnya mereka bungkus dengan irama-irama yang menggugah.