Lalu, pertunjukan melompat ke Frhythms Percussion dari Negeri Jiran Malaysia. Mereka mendengungkan musik dari alat musik handpan. Suara-suara nyaring yang dipukul di setiap sisinya menggetarkan telinga dan pandangan penonton yang takjub melihat bunyi yang dihasilkan dari alat musik tersebut.
Beranjak lagi ke MJ Project. Ia membawa Talempong Unggan khas Nagari Unggan, Kabupaten Sijunjung. Mereka mentransisikan musik-musik konvensional itu ke masa kini, layaknya sebuah pertunjukan kolaborasi musik.
Tiba-tiba Eta Margondang dari Toba melirihkan panggung dengan pertunjukan seruling-seruling yang nyaring. Bunyian seruling khasnya seakan membawa ketenangan, seperti seekor elang yang sedang menembus cakrawalanya di atas Danau Toba. Kata mereka, judul Selindung dari pertunjukannya ini memang bercerita tentang alam dan cara masyarakat Toba bersahabat dengan air.
Jelang penghabisan, Djangat Pekanbaru dengan ala-ala Rap atau sejenisnya membakar semangat penonton yang telah menyemai kegiatan sejak awal. Djangat mengajak dan bernyanyi bersama penonton lebih dekat. Mungkin saja, penyelenggara sengaja agar di penghujung kegiatan penonton tetap bergembira. Namun pertunjukan ala rap itu bukanlah sembarangan. Sebagaimana asalnya dari Riau, nyanyian mereka mengisyaratkan kebudayaan Riau yang cukup terkenal dengan sastra lisannya. Mereka membawa seni hikayat dari Kuantan Singingi yang disebutnya tradisi Kayat. Kesastralisanan Kayat dibawakannya lewat nyanyian dengan gaya yang lebih adaptif dan eksploratif.
Dan tibalah pada penutupnya, tambua kolaborasi mengakhiri pertunjukan yang telah berlangsung selama dua malam itu. Ratusan tambua mahoyak Lapangan Atas Ngarai, Kota Bukittinggi. Bab penutup dari Pitunang Ethnogroove memberi kesan bahagia dan sorak gembira, agar festival musik tradisi yang digawangi Kementerian Kebudayaan RI bersama Gaung Marawa benar-benar terpitunang di hati penonton atau masyarakat yang hadir. (*)