PADANG, HARIANHALUAN.ID — Program Dari Nagari untuk Negeri (DAUN) yang digagas Bank Indonesia (BI) Perwakilan Sumatera Barat (Sumbar) dinilai sebagai langkah potensial dalam mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif melalui penguatan sektor pertanian dan UMKM. Namun, pelaksanaan program ini disorot sejumlah kalangan karena dinilai belum tersosialisasi dengan baik dan belum menyentuh akar persoalan di lapangan.
Pakar Ekonomi dari UIN Imam Bonjol Padang, Huriyatul Akmal, menyebut program DAUN masih minim informasi dan kurang transparan dalam penyampaian capaian maupun strategi implementasinya. “Publik cukup kesulitan melacak ketersediaan informasi program ini. Apa bentuk konkret yang ditawarkan BI sebagai leading sector juga tidak jelas. Ketika kita mencari melalui mesin pencari, informasi yang muncul sangat minim. Ini tentu kontraproduktif dengan tagline inklusif yang diusung,” ujar Akmal kepada Haluan, Minggu (3/8/2025).
Akmal menilai, tanpa sosialisasi yang masif, program DAUN sulit menyentuh sasaran utamanya, yakni masyarakat nagari sebagai aktor ekonomi lokal. Ia juga menyoroti pentingnya sinkronisasi program DAUN dengan kondisi riil sektor pertanian di Sumatera Barat.
“Masalah utama pertanian Sumbar dari dulu itu ya seputar irigasi, pupuk dan modal usaha. Jika ini tidak dibenahi dari hulu, maka sektor hilir seperti hilirisasi pangan tidak akan banyak berkontribusi,” ucapnya.
Baca Juga: Diinisiasi BI Sumbar, Program DAUN Diharapkan Genjot Pertumbuhan Ekonomi
Akmal turut mengkritisi pendekatan pengendalian inflasi yang dinilai terlalu fokus pada penurunan harga hasil pertanian. Menurutnya, upaya ini justru bisa membebani petani, sebab biaya produksi yang tinggi tidak sebanding dengan pendapatan dari hasil panen.
“Modal bertani masih mahal, dan pasar lokal kita sering kali dibanjiri produk pertanian dari luar daerah. Kalau harga ditekan, petani kita bisa semakin terpuruk,” ujarnya.
Di sektor UMKM, ia menilai akses terhadap pembiayaan yang terjangkau masih menjadi kendala utama. “Meski BI menurunkan suku bunga acuan, kenyataannya tidak semua perbankan ikut menyesuaikan. Petani dan pelaku UMKM tetap sulit mendapat akses pembiayaan dengan tenor sesuai musim panen. Ini tidak sinkron,” katanya.
Akmal juga menyinggung perubahan budaya dalam penyimpanan hasil pertanian di tengah masyarakat Minangkabau. Jika dahulu gabah disimpan dalam rangkiang, kini penyimpanan lebih banyak dilakukan di heler atau bahkan langsung dijual sebelum panen.
“BI harus memahami aspek komunal mana yang ingin disentuh melalui program ini. Apakah menyasar nagari sebagai unit administratif, suku sebagai kelompok adat, atau komunitas usaha. Salah membaca konteks budaya bisa menimbulkan persoalan baru,” ujarnya.
Meski demikian, Akmal menilai masih ada potensi besar yang bisa digarap BI melalui program DAUN, yakni pemanfaatan lahan pertanian milik kaum di Sumbar yang masih banyak digunakan untuk sawah dan kebun. Ia menyarankan agar BI membangun komitmen dengan niniak mamak untuk mendukung proses produksi pertanian dari hulu hingga hilir.
Terkait rencana digitalisasi dan smart farming dalam program DAUN, Akmal mengingatkan agar pelaksanaannya tidak melampaui kemampuan riil masyarakat. “Gagasan bagus, tapi harus realistis. Beli traktor saja masyarakat kita masih kesulitan, apalagi adopsi teknologi digital yang butuh biaya besar,” katanya.
Program DAUN sejauh ini memang membawa semangat baru dalam penguatan ekonomi lokal berbasis nagari. Namun, tanpa strategi yang komunikatif, dukungan pembiayaan yang konkret, dan pemahaman menyeluruh terhadap konteks lokal, program ini dikhawatirkan tak mampu menyentuh tujuan utamanya: menjadikan nagari sebagai pusat kemandirian ekonomi daerah. (*)