PADANG, HARIANHALUAN.ID — Dari ribuan bendera perusahaan konstruksi yang dulu berkibar di Sumatera Barat (Sumbar), kini hanya segelintir yang bertahan. Tahun 2020, ada 1.800 badan usaha konstruksi di provinsi ini. Empat tahun berselang, jumlahnya merosot tajam menjadi hanya 275 perusahaan. Ratusan lainnya mati perlahan, terhimpit sepinya proyek dan kebijakan yang dinilai tak berpihak pada kontraktor lokal.
Ketua Gabungan Asosiasi Pengusaha Konstruksi Indonesia (Gapensi) Sumbar, Afrizal, mengungkapkan, salah satu pukulan terberat datang dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2025 tentang percepatan pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi untuk mendukung swasembada pangan.
“Inpres itu mengatur proyek pembangunan dan pemeliharaan jaringan irigasi dilakukan melalui swakelola atau penunjukan langsung kepada BUMN. Kebijakan ini jelas tidak berpihak pada pelaku konstruksi lokal, yang sebagian besar adalah pelaku UKM,” ujar Afrizal saat ditemui di kantornya, Jalan Khatib Sulaiman, Padang, Senin (11/8/2025).
Afrizal menyebut, aturan tersebut menghilangkan ruang partisipasi bagi pelaku konstruksi skala kecil dan menengah. Kondisi ini diperparah dengan proyek-proyek lain, seperti revitalisasi sekolah yang juga jarang melibatkan kontraktor lokal.
“Banyak pihak sekolah baik di Padang maupun daerah langsung mengambil alih tanpa proses tender terbuka. Padahal, untuk proyek yang dibiayai APBN atau APBD, hal ini jelas menyalahi aturan. Kalau terjadi kegagalan bangunan, siapa yang akan bertanggung jawab? Ini bangunan publik, risikonya besar,” ucapnya.
Data Gapensi menunjukkan, lebih dari 95 persen perusahaan konstruksi di Sumbar adalah skala kecil, sekitar 10 bidang usaha skala menengah, dan hanya 1–3 perusahaan berskala besar. Sesuai aturan, BUMN seharusnya tidak ikut tender proyek bernilai di bawah Rp100 miliar. Namun, di lapangan, banyak BUMN membentuk anak usaha untuk ikut menggarap proyek dengan nilai lebih kecil.
“Akibatnya, kontraktor kecil makin terpinggirkan. Padahal nilai proyek penunjukan langsung sekarang sudah sampai Rp400 juta. Kalau saja pemerintah daerah memberikan prioritas kepada kontraktor lokal, seperti yang dilakukan Pemkab Sijunjung, sektor ini bisa kembali bergairah,” katanya.
Afrizal mengingatkan, kebijakan serupa pernah diterapkan di era Gubernur Zainal Bakar melalui pergub yang mewajibkan proyek di bawah Rp10 miliar dikerjakan oleh kontraktor lokal. Ia mencontohkan Provinsi Bengkulu yang masih menerapkan kebijakan tersebut hingga sekarang.
“Kami berharap Sumbar juga bisa menghidupkan kembali kebijakan seperti ini agar sektor konstruksi lokal bergairah, ekonomi berputar dan tenaga kerja terserap,” tuturnya. (*)