Selain itu, temuan lapangan menunjukkan ada 31 titik tambang ilegal di Kabupaten Solok dan 116 titik di Kabupaten Sijunjung. Sebagian besar berada di kawasan hutan lindung dan hutan produksi.
Aktivitas ini juga berdampak lintas provinsi, terutama terhadap ekosistem di Riau dan Jambi yang dialiri Sungai Indragiri dan Batang Hari.
Wengki menambahkan, selain menggunakan kapal dompeng di sungai, tambang ilegal di Sumbar kini juga mengoperasikan puluhan hingga ratusan alat berat setiap hari.
“Satu alat berat bisa mengonsumsi hingga 450 liter BBM dalam sekali operasi. Bayangkan berapa besar pasokan BBM yang masuk ke tambang ilegal ini tanpa pengawasan,” ungkapnya.
Ia menilai, rantai pasokan BBM, alat berat, hingga peredaran merkuri dan emas perlu dibongkar karena menjadi bagian dari bisnis ilegal yang merusak lingkungan dan memperkaya segelintir orang.
Lebih jauh, WALHI juga menyinggung indikasi kuat keterlibatan aparat penegak hukum dalam bisnis tambang ilegal. Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah persidangan etik AKP Dadang Iskandar pada 2024, yang mengungkap adanya aliran dana hingga Rp600 juta per bulan kepada pejabat Polres Solok Selatanyang diduga berasal dari setoran aktivitas PETI.
“Ini bukti bahwa kejahatan lingkungan di Sumbar sudah masuk ke jantung institusi penegak hukum,” ujar Wengki.