Sementara itu, Tedi Berlian, juru bicara PDRI Sumatera Barat, menegaskan bahwa laporan ke Komnas HAM ini merupakan langkah strategis untuk mengungkap krisis politik dan hukum di balik maraknya tambang ilegal.
“Kami melihat akar persoalan bukan sekadar di lapangan, tapi pada krisis moral dan keberpihakan di tingkat pimpinan daerah dan institusi hukum,” ucap Tedi.
Ia menyebut, pasca perintah Presiden Prabowo Subianto kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk memberantas tambang ilegal pada Agustus lalu, tidak ada perubahan signifikan di lapangan.
“Bahkan setelah rapat Forkompimda pada 10 September 2025 dan rapat khusus Gubernur dengan seluruh Bupati/Wali Kota pada 19 September 2025, aktivitas PETI tetap jalan terus. Ini bukti bahwa instruksi pusat tidak diterjemahkan menjadi tindakan di daerah,” tambah Tedi.
Dalam laporan yang diterima langsung oleh Komnas HAM Sumbar, WALHI dan PDRI meminta lembaga itu untuk memanggil dan memeriksa seluruh pejabat eksekutif, legislatif, dan penegak hukum yang wilayahnya masih menjadi sarang aktivitas tambang ilegal.
Mereka juga mendesak agar Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap instansi yang bertanggung jawab atas peredaran alat berat, BBM, merkuri, dan emas di Sumbar. “Rantai bisnis ini harus dibuka secara transparan karena di sanalah sumber masalahnya,” tegas Tedi.
Selain menuntut penyelidikan, WALHI dan PDRI juga meminta Komnas HAM meningkatkan pengawasan terhadap perlindungan pembela lingkungan (environmental defender) dan menegakkan pasal-pasal anti-SLAPP agar aktivis lingkungan tidak dikriminalisasi saat mengungkap kejahatan lingkungan.
“Negara harus segera bertindak. Jangan biarkan Sumatera Barat menjadi ladang eksploitasi tanpa hukum. Tambang ilegal bukan sekadar pelanggaran administratif — ini pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat yang kehilangan tanah, air, udara, dan masa depan,” pungkas Wengki. (*)