Kondisi ancaman itu sudah beberapa kali disampaikan Gubernur Sumatra Barat kepada bupati dan wali kota pengguna TPA Sampah Regional Payakumbuh.
“Jauh-jauh hari sebenarnya kita sudah mengingatkan supaya masing-masing kabupaten kota untuk membuat TPA masing-masing, apalagi sebenarnya yang menjadi penanggungjawab pengelolaan sampah atau TPA ini adalah pemkab dan pemko bukannya pemprov,” ujarnya.
Fuadi menerangkan, TPA Regional Payakumbuh sempat dikelola oleh Pemko Payakumbuh pada tahun 2012. Namun saat itu sempat terjadi permasalahan di Kota Bukittinggi, karena saat itu sampah di kota tersebut langsung dibuang ke Ngarai Sianok lewat sistem open dumping yang kemudian telah dilarang.
Karena keterbatasan lokasi pembuangan di Kota Bukittinggi, akhirnya sampah dari Bukittinggi dikirim untuk dibuang ke TPA Kota Payakumbuh, sehingga akhirnya ada permintaan agar Pemprov Sumbar untuk ikut memfasilitasi, karena hal ini sudah berhubungan antar kabupaten dan kota.
“Saat itu pemprov hadir untuk memfasilitasi TPA regional dan kemudian TPA Payakumbuh dihibahkan ke provinsi, supaya provinsi bisa ikut menangani membantu. Provinsi sudah membantu pengelolaan sampah kabupaten kota dengan mengoperasikan TPA Sampah Regional Payakumbuh sejak tahun 2013,” ucap Fuadi.
Namun pada tahun 2017, tanda-tanda TPA Regional Payakumbuh menyimpan potensi longsor dan over capacity terlah terlihat. Hal itu ditandai dengan terjadinya dua kali longsor pada tahun 2017 dan 2019 yang proses ganti ruginya telah dirampungkan.
“Makanya terakhir pada tanggal 31 Januari lalu, Gubernur kembali menyurati resmi wali kota dan bupati untuk mengingatkan bahwa di tahun 2024 TPA akan ditutup. Sehingga pemerintah kabupaten kota diminta untuk memikirkan sistem pengolahan sampah di daerah masing-masing,” tuturnya. (*)