PADANG, HALUAN — Indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) Sumatra Barat (Sumbar) masih terhitung baik dengan capaian indeks 79,33 persen. Namun demikian, pertumbuhan penduduk dan pembangunan infrastruktur tetap akan memberikan tekanan pada lingkungan, sehingga strategi penerapan kebijakan dan aturan tetap perlu diperkuat.
Gubernur Sumbar Mahyeldi menyebutkan, pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) isu lingkungan hidup di Sumbar berpedoman pada kearifan lokal, terutama sekali dalam hal pemanfatan lahan dan ruang. Peran Tigo Tungku Sajarangan disebut sangat penting dalam merumuskan arah pembangunan ke depan.
“Posisi SDGs Sumbar adalah 43 persen, dari porsi 30 persen yang harus dicapai pada tahun ini. Kemudian, IKLH Sumbar masih dalam kategori baik, dengan angka 79,33 persen,” kata Mahyeldi, Senin (15/11).
Mahyeldi menyebutkan, untuk menyikapi potensi tekanan dari pertumbuhan penduduk dan pembangunan infrastruktur terhadap lingkungan, maka Pemprov Sumbar telah mengelompokkan tekanan itu sendiri lewat empat isu prioritas, yaitu masalah sampah, alih fungsi lahan, pencemaran danau dan sungai perkotaan, serta isu kebencanaan.
Terkait masalah sampah, Mahyeldi menyebut bahwa jumlah sampah di Sumbar saat ini mencapai 2.596 ton per hari, dengan 70 persen di antaranya merupakan sampah organik yang belum terkelola dengan baik dan kerap dibuang ke selokan, sungai, danau, dan laut. Akibatnya, menjadi beban pemerintah karena menjadi penyebab terjadinya pencemaran dan banjir.
“Di sisi lain, tingkat layanan pengelolaan sampah kita juga masih rendah, yaitu 46 persen. Sehingga, ini menjadi beban tersendiri bagi pemerintah. Ditambah lagi, kondisi pandemi Covid-19 dua tahun terakhir yang menyebabkan jumlah limbah medis meningkat hingga 15 persen,” katanya lagi.
Berangkat dari hal itu, Mahyeldi menambahkan, Pemprov telah menempuh dua pendekatan dalam mengurangi jumlah sampah di Sumbar. Pertama, pengelolaan di sumber sampah dengan menyedikan bank sampah pada sejumlah kelompok masyarakat, yang diperkuat dengan pengelolaan sampah oraganik menjadi magot untuk petani dan nelayan.
Pendekatan kedua, melalui pengelolaan sampah berbasis teknologi Refuse Derived Fuel atau RDF. Langkah ini disebutnya sudah mendapat dukungan dari Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), yang akan memfasilitasi percepatan pengelolaan sampah melalui teknologi RDF.
“Untuk limbah B3 medis, kita juga sudah dapat bantuan dari buk Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membangun fasilitas insenerator LB3 medis, sehingga permasalahan limbah Covid-19 ini dihadapkan dapat diatasi,” ujar Mahyeldi.
Kemudian, sambung Mahyeldi, pencemaran air sungai di perkotaan karena limbah domestik juga menyebabkan beberapa sungai dalam kondisi tercemar sedang. Sementara itu, pencemaran Danau Maninjau akibat aktivitas keramba jaring apung (KJA) juga telah menyebabkan matinya ribuan ikan secara masal pada waktu-waktu tertentu.
“Khusus untuk Danau Maninjau, itu sudah menjadi prioritas nasional dan akan segera ditetapkan status mutu air danaunya. Kemudian, penetapan daya dukung dan daya tampung danau juga dilakukan melalui Perda Bupati, yang menyebut jumlah maksimal KJA adalah 6.000 uni,” katanya lagi.
Ada pun terkait masalah alih fungsi lahan, Mahyeldi memastikan bahwa hal itu juga menjadi isu perhatian khusus pemerintah. Terutama sekali terkait pemanfaatan lahan pertanian dan hutan untuk peruntukan lain. Dalam tiga tahun terakhir, perubahan fungsi lahan di Sumbar mencapai 0,28 poin, dengan indeks tutupan lahan 63,18 persen sehingga termasuk dalam kategori baik serta lebih baik dari rata-rata nasional.
Mahyeldi mengatakan, untuk masalah alih fungsi lahan ini, Pemprov Sumbar sudah menyiapkan skema mulai dari program yang dilaksanakan pemerintah seperti hutan kemasyarakatan dan kemitraan, serta pendekatan hutan adat dan hutan nagari yang juga dilakukan.
“Pengembangan hasil hutan nonkayu seperti madu, rotan, dan sebagainya, juga menjadi fokus kita. Selain itu, penanaman pohon Andalas sekaligus pelestarian flora identitas Sumbar juga dilakukan,” ujarnya lagi.
Ada pun terkait isu kebencanaan, Mahyeldi menyadari bahwa Sumbar berada di pertemuan patahan dua lempeng euroasia dan australia, yang menyebabkan rawan terjadinya pergerakan tanah, gempa, hingga longsor. Ditambah lagi, hampir 40 persen wilayah Sumbar memiliki kemiringan di atas 40 persen.
“Jika kita bisa mengoptimalkan upaya terkait sampah, alih fungsi lahan, dan pencemaran air danau, maka akan mengurangi tekanan terhadap kebencanaan,” ucap Mahyeldi.
Ia menegaskan, bahwa Sumbar memiliki perhatian tinggi dalam pengelolaan dan pelindungan lingkungan hidup. Pemprov pun sudah mengalokasikan dukungan untuk sektor lingkungan sebesar Rp33 miliar.
“Dana lain ada pada sektor lain seperti, rencana 10 persen APBD untuk mewujudkan pertanian organik, agroforesti, dan ekonomi kreatif, yang dapat mengurangi tekanan terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan,” katanya lagi.
Terpisah, Ketua DPRD Sumbar Supardi mengatakan, pengelolaan dan perlindungan lingkungan telah diperkuat dengan sejumlah regulasi seperti Perda, yang telah ditetapkan yaitu Perda Nomor 14 Tahun 2012 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Kemudian, sambung Supardi, juga ada Perda nomor 8 tahun 2018 tentang pengelolaan sampah regional. Lalu, Perda nomor 2 tahun 2020 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tahun 2019-2049. Lalu, Perda nomor 6 tahun 2020 tentang adaptasi dalam pencegahan dan pengendalian covid-19.
“Kami mendukung upaya-upaya dalam menjaga dan melindungi lingkungan, permasalahan sampah, alih fungsi lahan, pencemaran lingkungan, hingga kebencanaan, ” kata Supardi. (h/mg-dar)