Sebab jika arah pengembangan investasi itu jelas, tentu seharusnya pemerintah daerah tidak akan mengusulkan rencana investasi skala besar kepada pemerintah pusat di lokasi yang notabene mengandung potensi konflik agraria.
“Kita belum punya blue print atau roadmap kemana Sumbar ini mau dibawa. Semuanya serba tidak jelas. Makanya jika dibandingkan dengan Riau, Bengkulu atau Jambi, yang baru berkembang saja, kebijakan investasi kita kalah jauh,” ucapnya.
Lemahnya kualitas kepemimpinan Sumbar hari ini, sambungnya juga tercermin dari lambannya penyelesaian pembangunan jalan tol Padang-Sicincin yang telah berjalan sejak tahun 2018, namun sampai tahun 2024 sekarang ini masih belum ada pergerakan berarti.
Menurut Busyra Azheri, progres pembebasan lahan jalan tol tersebut seharusnya tidak akan selamban, itu jika saja pemerintah daerah punya political will untuk menyelesaikan akar permasalahan yang menyebabkan timbulnya riak-riak gejolak yang terjadi di bawah.
“Sumbar juga butuh pemimpin yang berkarakter niniak mamak. Yang menjadi ka pai tampek batanyo, ka pulang tampek babarito. Ini yang absen dalam diri pemimpin Sumbar hari ini,” ucapnya.
Kondisi itu, kontras dengan kenyataan bahwa hari ini, hampir seluruh kepala daerah punya gelar datuak. Namun sayangnya mereka tidak menjiwai dan mengimplementasikan sifat niniak mamak yang kusuik nan ka manyalasai, karuah nan ka manjaniahan.
“Itu problemnya, ini berkaitan juga dengan banyaknya konflik agraria yang tak terselesaikan sampai sekarang, tahun 2025 sampai 2030 nanti, itu adalah puncak konflik agraria di Sumbar. Yakinlah karena pada tahun-tahun itu, banyak sekali HGU perusahaan sawit yang akan berakhir,” pungkasnya. (*)