HARIANHALUAN.ID – Ketika sahabat saya Zul Efendi, Pemimpin Umum media Haluan menghubungi dan meminta saya menulis sebuah tulisan untuk edisi khusus dalam wacana “Sumbar Bangkit”. Sejenak saya termenung, dalam hati bertanya, apakah ini maksudnya “mambangkik batang tarandam” lagi? Karena sudah sejak dari kecil saya sangat sering mendengar orang mengucapkan “…kok lai tabangkik batang tarandam”.
Belakangan saya juga terpikir, kalimat motivasi itu sebenarnya bagus. Tapi selama ini tidak pernah ada takrifan atau definisi yang jelas tentang itu. Apa yang dimaksud “batang” sebagai kata kiasannya, dan di mana “tarandam” nya, siapa yang merandam, kenapa terandam dan apa perlunya dibangkitkan? Dan, entah sejak kapan pula istilah itu mulai menjadi buah bibir orang Minangkabau.
Sumbar Bangkit & Pesan Kebersamaan
Suatu hari, ketika kalimat itu kedengaran lagi, saya pernah bertanya apa maksudnya. Ternyata dalam pikiran si pengucap adalah bagaimana supaya “jadi kaya raya, berpangkat dan terhormat.” Itulah lazimnya wujud harapan yang tersemat dalam kalimat mambangkik batang tarandam, yakni agar seseorang rajin belajar atau bersunggh-sungguh dalam bekerja supaya nanti bisa kaya, berpangkat dan terhormat. Jadi pendekatan yang ada pada kalimat itu sangat kapitalis, karena sifatnya untuk kejayaan pribadi, bukan untuk bersama. Mungkinkah pesan melalui kalimat khas ini yang membuat orang Minangkabau hari ini menjadi mata duitan, segalanya diukur dengan kekayaan materi dan pangkat? Untuk mendapatkan semua itu bahkan orang yang sanggup melakukan apa saja, meskipun salah dan tidak halal. Nah, ketika Haluan mengusulkan Sumbar (Minangkabau) bangkit, wacana ini jadi menarik, karena membawa pesan kebersamaan.
Sumatera Barat (Sumbar) dan Minangkabau adalah dua hal yang berbeda. Sumbar adalah salah satu wilayah administratif dalam negara Indonesia, sedangkan Minangkabau adalah suku kaum terbanyak yang mendiami wilayah Sumbar dengan cara hidup (budaya) dan tradisinya yang khas. Betul, bahwa tidak semua penduduk Sumbar adalah orang Minangkabau. Tetapi warna Sumbar dalam banyak hal akan tetap ditentukan oleh Minangkabau sebagai penduduk mayoritas. Sebab itulah dalam tulisan ini saya lebih cenderung melihat “Sumbar Bangkit” dari segi posisi dan peran orang Minangkabau, tanpa bermaksud meminggirkan peran suku kaum lain.
Terkait kata “bangkit”, dalam bahasa Minangkabau disebut bangkik. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mentakrifkan kata “bangkit” artinya bangun dari duduk, atau bangun dan hidup kembali. Dengan kata lain, bangkit adalah sebuah gerakan perubahan dari yang rendah menuju ke tempat yang lebih tinggi. Dalam hal ini, jika merujuk kepada masa lalu Minangkabau yang pernah hebat sebab dulu mampu melahirkan sejumlah tokoh-tokoh besar yang menghiasi panggung sejarah bangsa ini, termasuk di negara tetangga, bahkan hingga ke dunia internasional. Maka kata Sumbar bangkit, selain harapan untuk kembali bangun dan naik ke atas, tapi sekaligus juga pengakuan terhadap prestasi Minangkabau dalam berbagai hal telah menukik turun atau terpuruk dibanding masa lalu. Untuk itu, sudah saatnya untuk kembali bangkit dengan suatu gerakan perubahan.
Memulai wacana Sumbar Bangkit ini, Haluan menggaris-bawahi lima tujuan. Pertama, melacak berbagai pandangan tentang Sumbar dulu dan kini dari berbagai aspek. Kedua; mengungkap fakta dan data Sumbar dulu dan kini dari berbagai sudut dan daerah. Tiga, memetakan masalah, kelemahan dan kekuatan Sumbar dulu dan kini. Keempat, menawarkan jalan keluar untuk Sumbar ke depan. Terakhir, mendorong lahirnya kebijakan dan tindakkan untuk Sumbar yang lebih baik.