PADANG, HARIANHALUAN.ID – Pertumbuhan ekonomi (PE) Sumatra Barat (Sumbar) dalam kurun waktu tiga tahun terakhir memang telah menunjukkan tren positif. Meski sudah on the track, namun dinilai belum atraktif dan cenderung stagnan.
Di mana peningkatan tersebut tidak seberapa, sedangkan di sisi lain harga kebutuhan pokok naik, angka kemiskinan masih tinggi dan masih banyak masyarakat menganggur, karena lapangan kerja yang tersedia sangat rendah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Sumatra Barat 2021–2003 tercatat masing-masing 3,29 persen, 4,36 persen, dan 4,62 persen, sedikit di bawah pertumbuhan nasional yang masing-masing 3,69 persen, 5,31 persen, dan 5,01 persen dalam periode yang sama.
Ekonomi Sumatra Barat tahun 2022 tumbuh sebesar 4,36 persen, lebih tinggi dibanding tahun 2021 yang tumbuh sebesar 3,29 persen. Hal itu diukur berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp285,38 triliun dan PDRB perkapita mencapai Rp50,59 juta atau US$3.571,02.
Pada tahun 2023 tumbuh sebesar 4,62 persen. Angka itu lebih tinggi dibandingkan capaian tahun 2022 yang mengalami pertumbuhan 4,36 persen. Pertumbuhan 2023, juga lebih tinggi dibandingkan provinsi tetangga Riau (4,21 persen), Bengkulu (4,21 persen), namun sedikit lebih rendah daripada Jambi (4,66 persen) dan Sumatra Utara (5,01 persen).
Meski mengalami pertumbuhan Guru Besar Ekonomi Universitas Andalas (Unand), Prof. Dr. Firwan Tan, SE., M.Ec., DEA.Ing., menilai bahwa perkembangan dan pertumbuhan ekonomi Sumbar tersebut cenderung mengalami stagnasi bahkan dapat dikatakan mundur.
Ia menyebut, salah satu indikator ekonomi dapat dikatakan maju bisa dilihat dari pendapatan perkapita masyarakat. Memang pendapatan perkapita masyarakat di Sumbar naik, namun peningkatan tersebut tidak seberapa. Sedangkan di sisi lain harga kebutuhan pokok rumah tangga naik. Selain itu angka kemiskinan masih tinggi dan masih banyak masyarakat menganggur karena lapangan kerja yang tersedia sangat rendah.