LIMA PULUH KOTA, HARIANHALUAN.ID – Lereng Gunung Sago (Legusa) Festival akan kembali dihelat. Huru-hara kesibukan masyarakat Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang, Kecamatan Luak, Kabupaten Lima Puluh Kota mulai tampak hilir mudik menyiapkan segala sesuatunya.
Ada anak-anak yang bermain riang di lokasi festival, anak muda yang beramai-ramai memikul segala perlengkapan, hingga orang dewasa yang sibuk mengerjakan tugas dan beban yang cukup berat. Roman itu sengaja dibingkai sedemikian rupa dan menjadi inti nilai dari pelaksanaan festival tersebut.
Legusa Festival yang akan dilaksanakan pada 23 – 26 November besok, tetap menggaungkan esensi kolektivitas dalam pelaksanaannya. Di jalur kebudayaan, Legusa Festival yang ke-enam ini tetap ingin menumbuhkan ruang-ruang komunal itu dan mengorientasikannya secara berkelanjutan agar dapat terus mengakar di masyarakat Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang atau Nagari Sitapa.
“Memang dari tahun ke tahun yang dipertahankan dari festival ini adalah keterlibatan masyarakatnya. Demi melihat anaknya tampil, ibu-ibu dengan senang hati akan menyumbangkan apa yang bisa disumbangkan. Sebaliknya para ayah juga tidak mau kalah, mereka bergotong royong menyumbangkan tenaganya menyiapkan panggung pertunjukan,” kata Daya Desa Nagari Sitapa, Keron, Senin (20/11).
Menariknya, lanjut Keron, yang membedakan Legusa Festival dengan kebanyakan festival pada umumnya adalah daya dan semangat masyarakat yang benar-benar merasakan bahwa kegiatan ini miliknya. Dari Legusa Festival sebelumnya, rasa kepemilikan itu terus tumbuh sampai sekarang dan menjadi kekuatan baru di perhelatan festival ini.
Berkat gerakan dan sumbangsih besar masyarakatnya, Legusa Festival telah menjelmakan Nagari Sitapa menjadi nagarinya pertunjukan seni. Sejak perhelatannya di tahun 2018 lalu, Legusa Festival mampu memantik pertumbuhan seni dan budaya di nagarinya. Berbagai kelompok-kelompok seni mulai bermunculan di setiap jorongnya. Bukan hanya untuk menjadi bagian dari festival, bahkan kelompok seni yang berkembang itu dapat pula meningkatkan kiprahnya di luar Legusa Festival sekalipun.
“Inilah yang terus kita kejar. Daya gerak dari festival ini kita menginginkan satu kemajuan dalam kebudayaan itu sendiri. Sehingga kebudayaan pun orientasinya menjadi sebuah alat atau cara untuk melakukan pendekatan-pendekatan pada aspek yang lainnya, termasuk dalam ranah kebijakan nagari,” katanya.
Begitu juga disampaikan wali nagarinya, Nofrizal. Menurutnya, kebudayaan perlu diakomodir secara tepat dan jelas melalui sebuah kebijakan. Sebagai penguatan, nagari selanjutnya bisa mengarahkan kebudayaan pada salah satu rencana pembangunannya.
“Saya kira kebudayaan ini perlu ditinjau kembali. Mungkin ini yang telah kita lupakan. Dari perkembangannya, jalan kebudayaan ini bisa dijadikan sebagai dasar pembangunan nagari. Dan kami dari pemerintahan nagari telah mencoba membuat kebijakan terkait kebudayaan nagari ini,” kata Walnag Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang itu.
Menilik Kebudayaan untuk Ketahanan Pangan
Tak hanya merawat fungsi dan ruang komunal masyarakatnya, Legusa Festival tahun 2023 juga hadir untuk menilik persoalan ketahanan pangan. Di mana ketahanan pangan sekarang ini telah menjadi perbincangan yang merata dan menyeluruh di berbagai daerah di Indonesia, bahkan dunia.
Melalui helatan festival berbasis masyarakat, Legusa Festival dengan iven kebudayaannya mencoba menangkap dan menjawab isu ketahanan pangan dengan penyelesaian yang lebih terarah, tepatnya melalui jalur kebudayaan.
Menurut Keron selaku Daya Desa yang menggerakan pemajuan kebudayaan desa di Nagari Sitapa, mengatakan bahwa di berbagai kegiatan kebudayaan, isu ketahanan pangan memang menjadi satu wacana yang direspon juga oleh berbagai kegiatan kebudayaan.
“Agaknya, ketahanan pangan menjadi wacana yang juga kita respon dari Legusa Festival ini. Dan benar, ketahanan pangan dan kebudayaan sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang juga tidak bisa dipisahkan, karena kita ketahui pangan dan kebudayaan itu seiring sejalan,” katanya.
Dalam menangkap isu ketahanan pangan tersebut, Legusa Festival kali ini akan menilik pengetahuan-pengetahuan lokal masyarakat Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang tentang pangan. Persoalan pangan itulah yang nantinya akan dikemas dan disumbangkan oleh Legusa Festival untuk pemajuan kebudayaan.
“Barangkali tentang pangan telah selesai kita bicarakan. Pangan di Sitapa menjadi tidak berdaya di dalam kuali dan piring. Artinya pangan diolah menjadi ragam kuliner yang telah membudaya di sini. Namun menyoal pangan, ada objek lain yang ingin kita tuntaskan dari isu ketahanan pangan ini, yaitu air dan tanah,” katanya.
Air dan tanah, sambung Keron, menjadi tempat untuk tumbuhnya hasil pangan. Di Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang terdapat sawah-sawah yang menjadi sumber pangan. Karena berada di lembah-lembah, biasanya sawah selalu basah.
Namun terakibat perubahan iklim yang tak menentu, hasil pangannya mulai menjadi persoalan yang serius bagi masyarakat Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang. Sawah-sawah yang mudah diairi sering kekeringan, sehingga mengganggu hasil pangan.
“Lebih herannya lagi dulu satu kali panen dalam setahun, pangan cukup memenuhi kebutuhan keluarga. Kini sudah tiga kali panen ditambah perubahan iklim, malah menjadi krisis pangan. Barangkali ada yang salah dengan sistem pengolahan tanah dan airnya. Dari sinilah kita ingin membongkar dan menjemput pengetahuan-pengetahuan lokal akan penanganan sistem tanah dan air dalam keterkaitannya dengan pangan,” katanya.
Dari persoalan inilah yang kemudian menggagas Legusa Festival 2023 untuk merespon persoalan tersebut melalui kemasan pertunjukan seni. Beberapa seniman akan dilibatkan dalam lokakarya yang kemudian dari hasil meniliknya di Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang tentang masalah pangan akan dijadikan sebagai pertunjukan seni baik musik, tari, sandiwara dan karya visual. Selain itu, juga ada produksi kuliner khas dari pangan lokal.
“Semoga Legusa Festival hari ini mampu menjawabnya secara kritis dan konstruktif persoalan pangan hari ini. Sebab, pangan tak bisa dilepaskan dari kekuatan kebudayaan. Pengelolaan dan pengolahan pangan ada karena kebudayaan itu sendiri. Tahan budaya tahan pula pangannya,” jelas Keron menyudahi. (h/mg-jum)