PADANG, HARIANHALUAN.ID — Situasi perlindungan anak di Kabupaten Padang Pariaman kian memprihatinkan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mengungkapkan, sepanjang Januari hingga Oktober 2025, lebih dari 50 perempuan dan anak di Padang Pariaman menjadi korban kekerasan, sebagian besar berupa kekerasan seksual.
Kasus terbaru, kekerasan seksual yang dilakukan seorang tenaga pendidik di salah satu sekolah dasar Islam di daerah itu, diduga kuat telah menimpa 16 orang anak di Nagari Campago Selatan, Kecamatan V Koto Kampung Dalam.
Ironisnya, pelaku justru tidak diproses secara hukum, melainkan diselesaikan secara kekeluargaan. LBH Padang menyebut langkah itu sebagai bukti nyata darurat perlindungan anak di daerah, sekaligus cermin gagalnya sistem hukum dan pendidikan dalam melindungi korban.
“Bayangkan, sudah 16 anak menjadi korban, namun kasusnya malah dianggap ‘pelecehan ringan’ dan diselesaikan damai. Ini bukan hanya bentuk kelalaian, tapi juga pelanggaran hukum yang serius,” tegas Annisa Hamda, Staf Bidang Hak Asasi dan Minoritas Rentan LBH Padang, Selasa (28/10).
Annisa Hamda menjelaskan, Kasus di Campago Selatan mencuat ketika beberapa anak menceritakan pengalaman mereka kepada orang tua. Namun, alih-alih dilaporkan ke kepolisian, pihak sekolah memilih memanggil orang tua korban dan terduga pelaku, serta menghadirkan Bhabinkamtibmas setempat, lalu menutup perkara dengan “perdamaian.”
Padahal, menurut Annisa, tindakan tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang menyatakan bahwa kekerasan seksual merupakan delik biasa dan tidak bisa diselesaikan lewat mediasi.
“Penyelesaian semacam ini hanya akan memperparah trauma korban dan membuka ruang bagi impunitas pelaku. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman, malah berubah menjadi ruang yang menakutkan bagi anak-anak,” kata Annisa.
Ia menambahkan, pengakuan pelaku dalam forum mediasi bukan alasan untuk membenarkan perdamaian. “Ini adalah bentuk miskonsepsi hukum sekaligus kegagalan moral institusi pendidikan,” ujarnya.
LBH Padang mencatat, sejak awal tahun 2025, lebih dari 50 perempuan dan anak di Padang Pariaman telah menjadi korban kekerasan, mulai dari kekerasan seksual, fisik, hingga kasus femisida atau pembunuhan terhadap perempuan karena gender.
Sebagian besar pelaku berasal dari lingkungan terdekat korban. Mulai dari ayah kandung, ayah tiri, guru, hingga tetangga dan kerabat. LBH menyebut data ini sebagai indikasi kuat adanya krisis perlindungan dan kegagalan sistemik pemerintah daerah dalam menjalankan mandat perlindungan anak dan perempuan.
“Ini bukan hanya soal banyaknya kasus, tapi soal hilangnya rasa aman anak-anak di rumah dan di sekolah. Padang Pariaman sedang berada dalam situasi darurat kekerasan seksual,” tegas Annisa.
Ia menilai, kegagalan ini tidak disebabkan oleh ketiadaan aturan, melainkan karena lemahnya pelaksanaan dan rendahnya akuntabilitas lembaga di tingkat akar rumput.
Menurut LBH Padang, akar persoalan kekerasan terhadap anak di Padang Pariaman terletak pada struktur sosial yang masih sarat ketimpangan gender, serta penegakan hukum yang tidak tegas.
Banyak kasus berakhir tanpa proses hukum akibat tekanan sosial, stigma terhadap korban, dan budaya “damai kekeluargaan” yang menormalisasi kekerasan.
“Akuntabilitas sekolah lumpuh, aparat penegak hukum tidak konsisten, dan budaya patriarki masih mendominasi cara pandang masyarakat. Semua faktor ini berpadu menjadi lahan subur bagi kekerasan terhadap perempuan dan anak,” papar Annisa.
Ia juga menyoroti lemahnya implementasi berbagai payung hukum yang sejatinya sudah cukup kuat, seperti Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan, UU TPKS, dan UU Perlindungan Anak.
Menurut LBH Padang, peraturan tersebut tidak akan bermakna apa pun jika institusi pendidikan dan penegak hukum di daerah tidak menjalankannya dengan komitmen dan konsistensi.
Melihat eskalasi kasus yang kian mengkhawatirkan, LBH Padang mendesak Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman dan aparat penegak hukum untuk segera bertindak tegas.
Pemerintah daerah harus menghentikan praktik perdamaian atau mediasi dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, memproses hukum setiap pelaku tanpa kompromi, serta menindak tegas pihak yang berusaha menghalangi proses hukum.
Selain itu, evaluasi menyeluruh terhadap kinerja kepala sekolah dan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di lingkungan pendidikan juga harus dilakukan, disertai jaminan anggaran dan layanan pemulihan psikologis serta hukum bagi korban.
LBH Padang menekankan, agenda perlindungan perempuan dan anak harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan daerah. Kasus 16 anak korban kekerasan seksual di sekolah Islam tersebut, menurut LBH Padang, harus menjadi alarm keras sekaligus momentum evaluasi total terhadap sistem perlindungan anak di Padang Pariaman.
“Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin hak anak atas keadilan dan perlindungan dari kekerasan. Jika 50 anak lebih sudah menjadi korban, dan masih ada kasus seperti ini diselesaikan kekeluargaan, maka kita tidak lagi berbicara tentang insiden, tapi tentang kegagalan sistemik yang menuntut pertanggungjawaban segera.” pungkasnya. (*)














