Misalnya, rangka-rangka besi yang ada di kawasan Cagar Budaya Indarung I mau dijadikan atribut atau tidak. Kalau iya, tentu harus dilestarikan dan harus ada langkah-langkah untuk memastikan keselamatan rangka-rangka besi ini. Untuk itu, ini perlu didiskusikan secara lebih detil, terutama dengan pemilik aset.
“Jadi, mungkin gak ini (Indarung I) bisa ditetapkan sebagai World Heritage? Tapi yang jelas, sebagai Cagar Budaya Nasional saja, arti pentingnya bagi masayarakat juga sudah naik, sudah lebih kuat. Makanya, ini harus ditindaklanjuti dengan mengaktivasi kawasan Cagar Budaya Indarung I. Saya harap FDG selama tiga hari ini untuk mendiskusikan hal itu,” ujarnya.
Pada FGD itu, Hilmar menyampaikan dalam mengelola Cagar Budaya, harus memiliki visi dan kemampuan mengimajinasikan sesuatu dalam mengerahkan sumber dayanya. Kemudian, mengesekusinya dalam sebuah organisasi. Menurutnya, nilai yang sangat besar terletak di sana. “Indarung I ini skalanya tidak main-main. Indarung I itu suatu kompleks besar,” ujanya.
Maka dari itu, lanjutnya, kepada peserta FGD, belajarlah dari Industri Heritage (Kawasan Indarung I) untuk membangun imajinasi, dan belajarlah memobilisasi dan membangun organisasi. Karena, ini sangat esensial untuk dijawab sebelum memikirkan kegiatan-kegiatan lainnya yang akan dibuat atau diselenggarakan di kawasan Cagar Budaya Indarung I ini.
Namun begitu, dirinya yakin pelaku budaya dan seniman di Sumbar memiliki kemampuan kreatif untuk membangun mimpi bersama dalam mengelola kawasan Cagar Budaya Indarung I, sehingga ke depan bisa menjadi destinasi wisata industri heritage. Karena, yang namanya cultural tourism ataupun heritage tourism, berkaitan dengan ekonomi.
“Sekarang ini di dunia yang namanya heritage tourism dan cultural tourism merupakan salah satu yang paling besar. Kalau bicara angka, perkiraannya totalnya 500 miliar dolar per tahun. Untuk itu, saya juga berharap pemerintah daerah harus dapat menjadi fasilitator bagi pelaku budaya dan seniman. Mohon maaf, selama ini itu belum terjadi,” ucapnya.