PARIAMAN, HARIANHALUAN.ID – Pengadaan posisi baru, pramu pimpinan atau ajudan untuk wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Pariaman yang sebelumnya hanya dimiliki ketua dewan rawan disalahartikan sebagai upaya personalisasi jabatan, bukan kebutuhan institusional. Selain itu, jabatan baru ini juga dapat menimbulkan kesan penguatan posisi individu bukan kepentikan lembaga.
Hal tersebut diungkapkan oleh Pengamat Kebijakan Publik Universitas Andalas, Roni Ekha Putra yang memandang perlu adanya peninjauan ulang terhadap jabatan tersebut demi tertibnya administrasi pemerintahan.
“Secara politis, penggunaan tenaga outsourcing untuk ajudan bisa dibaca sebagai upaya wakil ketua DPRD memperkuat posisi pribadi dan meningkatkan kapasitas pelayanan personal, meski belum tentu berdasar kebutuhan organisasi DPRD,” kata dia kepada Haluan pada Kamis (5/6).
Ia memandang, pengadaan ajudan wakil ketua merupakan kebijakan yang jarang terjadi di DPRD tingkat daerah. Sebab, biasanya ajudan melekat pada pimpinan eksekutif, bukan legislatif.
“Tradisi di DPRD lebih pada pembentukan staf ahli atau tenaga ahli, bukan ajudan pribadi. Sehingga perlu dikaji ulang kebijakan yang dibuat ini, sehingga tidak menimbulkan salah interpretasi antara lembaga yang ada,” ulasnya.
Roni menilai, kebijakan tersebur bisa dipandang sebagai simbol perubahan gaya kepemimpinan yang lebih personal, tetapi juga rawan ditafsirkan sebagai manuver politik individu untuk memperluas pengaruh di luar fungsi legislatif.
Berbeda dari tujuan pengadaan outsourcing mandiri di daerah yang diperuntukkan sebagai alternatif bagi tenaga honorer. Pengangkatan ajudan pimpinan dengan memilih orang kepercayaan dinilai kurang terbuka dan transparan.