SOLOK SELATAN, HARIANHALUAN.ID – Angka resmi mencatat puluhan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Solok Selatan setiap tahun. Namun di balik data itu, diyakini masih banyak kisah kelam yang tak pernah terungkap ke permukaan.
Wakil Ketua II P2TP2A Solsel, Fitri Syamsurizaldi, menyebut budaya tabu dan rasa sungkan masih jadi penghalang terbesar. Korban maupun keluarga kerap memilih diam meski mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau pelecehan.
“Kasus yang terlapor hanyalah sebagian kecil. Budaya malu dan tabu membuat banyak korban bungkam. Padahal, tanpa laporan, perlindungan tidak bisa diberikan maksimal,” ujarnya dalam dialog interaktif di Kantor Bupati Solsel, Rabu (27/8/2025).
Data Dinas P2KBPP&PA mencatat 36 kasus pada 2024 dan 30 kasus hingga pertengahan 2025. Meski terlihat ada peningkatan kesadaran melapor, angka ini diyakini belum mencerminkan kondisi sesungguhnya.
Lebih mengkhawatirkan, banyak pelaku justru orang-orang terdekat korban. Ayah, paman, hingga kakek kerap menjadi pelaku, namun kasus sulit diungkap karena korban takut dan tertekan.
Kepala DP3A Sumbar, dr. Herlin Sridiani, menegaskan perlindungan tidak akan kuat tanpa sinergi lintas sektor. Hal serupa ditegaskan Sekretaris Gerakan Bersama Melindungi Anak Indonesia, yang mencontohkan keberhasilan kolaborasi organisasi di Kalimantan Selatan dalam memperkuat jaringan perlindungan anak.
Para pemateri sepakat, perlindungan perempuan dan anak bukan hanya tugas pemerintah, melainkan tanggung jawab semua pihak. Kolaborasi dinilai menjadi satu-satunya jalan memutus rantai kekerasan yang selama ini tersembunyi di balik budaya tabu. (*)