“Kalau ada yang ngajak seperti itu, saya merasa sangat terhina dan tersinggung. Meskipun saya butuh uang, tapi saya ini hanya LC. Bukan jual diri. Saya masih ingat dosa dan takut terjangkit HIV,” ucapnya kesal dengan nada agak tinggi.
Menjalani kerasnya kehidupan sebagai LC di Kota Padang, Aster bukannya tidak pernah mencoba mencari nafkah dengan cara yang lebih halal. Bermodalkan ijazah SMP, dirinya telah berulang kali mencoba melamar pekerjaan. Entah itu sebagai penjaga toko, waitress. cleaning service, atau pekerjaan kasar lainnya.
Namun begitu, lapangan kerja yang dirasakannya sangat sempit di Kota Padang membuat dirinya tidak bisa berbuat apa-apa selain menjalani kehidupan malam yang keras sebagai LC di beberapa kafe, tempat karaoke, dan tempat hiburan malam.
“Untuk berhenti atau buka usaha lain, saya rasa sekarang belum saatnya. Apalagi, saat ini anak saya masih sedang kuat-kuatnya minum susu formula. Sementara ASI saya tidak mungkin saya berikan, karena saya minum alkohol. Saya yakin tuhan maha tahu apa yang membuat saya hingga sampai seperti ini,” tuturnya.
Aster mungkin hanyalah satu dari ratusan atau bahkan ribuan “kupu-kupu malam” yang mencari nafkah di balik gemerlapnya dunia malam Kota Padang. Aster juga menjadi korban pernikahan dini yang membuat wanita usia produktif rentan jatuh ke lubang kemiskinan, kebodohan, dan rawan terlibat dalam berbagai bentuk penyimpangan sosial.
Berdasarkan riset terbaru Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) Sumbar, tren pernikahan dini cenderung mengalami peningkatan di Sumbar dan beberapa daerah lainnya pascapandemi Covid-19.