Selama periode 2012 -2024, Walhi mencatat ada sebanyak 40 orang penambang yang meninggal akibat kecelakaan yang terjadi di lubang-lubang tambang ilegal. Aktivitas tambang ilegal yang juga telah berlangsung dengan begitu masif telah menimbulkan kerugian pada perekonomian negara.
“Tambang ilegal telah menjadi penyebab utama pemicu bencana ekologis berupa banjir dan longsor di Sumbar. Selain itu, kejahatan PETI telah meruntuhkan wibawa negara di hadapan sindikat pelaku kejahatan lingkungan. Peristiwa polisi tembak polisi di Mapolres Solsel menjadi bukti yang tak terbantahkan,” tuturnya.
Tomi Adam mengungkapkan, bahwa total luasan areal pertambangan ilegal yang terdata dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) RTRW Sumatera Barat (2023-2043) bahkan telah mencapai angka 7.662 hektare.
Luasan tambang tersebut tersebar di empat Kabupaten yang menjadi hulu dari DAS Batang Hari, yaitu di Kabupaten Dharmasraya seluas 2.179 hektare, Kabupaten Solok 1.330 hektare, Kabupaten Solsel 2.939 hektare, dan Kabupaten Sijunjung 1.174 hektare.
Luasan yang masif ini juga berkontribusi terhadap dampak kesehatan yang ditimbulkan dari penggunaan merkuri sebagai zat pemisah emas. Dari hasil kajian oleh Runi Sahara dan Dwi Puryanti dari Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Andalas (Unand) didapati bahwa air Sungai Batang Hari di aliran Batu Bakauik tidak layak konsumsi.
“Dari pengujian atomic absorption spectrometry (AAS), kandungan logam berat merkuri (Hg) maksimum 5,198 mg/L, jauh melampaui baku mutu 0,001 mg/l (berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum),” ucapnya.