“Untuk itu, semestinya lima tahun ke depan tidak ada lagi izin perhutanan sosial di Sumbar, kecuali hutan adat. Jika cara-cara ini terus dilanjutkan, artinya Pemprov secara aktif melakukan praktik-praktik etnosida atau pembasmian identitas masyarakat hukum adat yang berada di kawasan hutan,” tuturnya.
Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Selain melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan sektor kehutanan, Walhi Sumbar juga meminta Gubernur Mahyeldi untuk mengoreksi kebijakan pada sektor infrastruktur dan energi. Ia menegaskan, pemerintah harus konsisten menerapkan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) dalam setiap kebijakan pembangunan.
Prinsip ini dinilai seringkali diabaikan oleh pemerintah dalam menjalankan agenda pembangunan. Pengabaian ini pada akhirnya bakal menuai penolakan masyarakat sekitar terdampak, yang pada akhirnya hanya akan menambah deretan panjang titik-titik konflik agraria di Sumbar.
Wengki mencontohkan pembangunan Jalan Tol Padang–Pekanbaru yang diwarnai tindak pidana korupsi. Proses pembangunannya pun telah melahirkan bencana sosial-ekologis yang luar biasa besar bagi masyarakat sekitar.
“Material dari tambang ilegal yang digunakan untuk pembangunan jalan tol itu telah menghancurkan lingkungan dan memporak-porandakan pemukiman masyarakat. Begitupun pada Jalan Tol Seksi Pangkalan–Payakumbuh di Kabupaten Limapuluh Kota. Trase jalan tol yang direkomendasikan justru menjadi alat penghancur kawasan inti masyarakat adat seperti rumah gadang dan sebagainya,” katanya.
Pengabaian prinsip FPIC oleh Pemprov Sumbar pada periode pertama Mahyeldi juga terbukti terjadi pada rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Singkarak yang hingga kini masih menuai penolakan dari masyarakat sekitar.