PADANG, HARIANHALUAN.ID — Sejumlah pekerjaan rumah (PR) sudah siap menanti pasangan Mahyeldi Ansharullah-Vasko Ruseimy yang pada Kamis (9/1) resmi ditetapkan KPU sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat (Sumbar). Kerusakan lingkungan yang berujung bencana menjadi satu dari sekian banyak persoalan yang belum mampu diselesaikan pemerintah daerah (pemda) pada periode sebelumnya.
Dalam hal ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar mengingatkan pasangan Mahyeldi-Vasko selaku pemegang mandat rakyat untuk setia berpihak kepada rakyat dan tidak berselingkuh serta berkompromi dengan keserakahan pengusaha maupun oligarki.
“Kita tentu tidak ingin tagline ‘Gerak Cepat untuk Sumbar’ yang digaungkan Mahyeldi-Vasko malah berubah menjadi gerak cepat untuk kehancuran Sumbar,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, Wengki Purwanto dalam diskusi yang digelar Society of Indonesian Enviromental Journalist (SIEJ) Simpul Sumbar di LOCA Cafe, Kota Padang, Kamis (9/1).
Menurut Walhi, ada sejumlah kebijakan bermasalah oleh Pemprov Sumbar di bawah kepemimpinan pasangan Mahyeldi-Audy pada periode sebelumnya. Berbagai persoalan ini harus dievaluasi dan dituntaskan pasangan Mahyeldi-Vasko selama lima tahun ke depan.
Beberapa di antaranya seperti kebijakan sektor kehutanan, energi dan infrastruktur, komitmen pemulihan kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pencemaran kawasan laut, hingga bencana ekologis yang dilatarbelakangi masifnya pembangunan dan investasi yang mengabaikan kaidah-kaidah keseimbangan lingkungan.
Pada sektor kebijakan kehutanan, Walhi Sumbar menyoroti program perhutanan sosial yang klaim keberhasilannya selalu dibanggakan Mahyeldi dan Pemprov Sumbar dalam berbagai kesempatan.
Berdasarkan catatan Walhi Sumbar, hingga bulan Agustus 2024, lewat skema perhutanan sosial Pemprov Sumbar telah memberikan hak pengelolaan kawasan hutan di areal seluas 300 ribu hektare bagi masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar kawasan hutan.
Pemberian hak kelola bagi masyarakat melalui kebijakan perhutanan sosial ini diakuinya memang masuk akal untuk diterapkan, mengingat mayoritas desa atau nagari yang ada di Sumbar terletak di dalam maupun di sekitar kawasan hutan.
Namun demikian, masifnya pemberian izin hak kelola masyarakat lewat skema perhutanan sosial justru dinilai menghilangkan dan mengabaikan aspek pengakuan dan penghormatan negara terhadap tanah ulayat yang dimiliki masyarakat hukum adat Minangkabau. Pasalnya, luas hutan adat Sumbar, yang tercatat dan diakui negara, ternyata hanya 0,3 persen dari total luas keseluruhan kawasan hutan Sumbar.
“Itupun hanya ada di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pertanyaannya, apakah di 18 kabupaten/kota lainnya tidak ada masyarakat hukum adat? Justru yang ada hanyalah skema perhutanan sosial yang notabene statusnya adalah hutan negara, yang sewaktu-waktu bisa kembali diambil alih negara jika izinnya tidak diperpanjang,” kata Wengki.
Perbedaan antara hutan negara dan hutan adat ini bahkan telah diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 35/PUU-X/2012, yang menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah masyarakat adat. Artinya, bukan lagi sebagai hutan negara. Putusan ini mengakomodasi hak masyarakat adat dalam UU Kehutanan dengan kerangka hukum progresif.
Oleh karena itu, Walhi meminta Pemprov Sumbar untuk segera mengoreksi kebijakan perhutanan sosial serta memulihkan hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat. Termasuk bagi tanah-tanah ulayat yang di atasnya telah terlanjur terbit izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit.
“Untuk itu, semestinya lima tahun ke depan tidak ada lagi izin perhutanan sosial di Sumbar, kecuali hutan adat. Jika cara-cara ini terus dilanjutkan, artinya Pemprov secara aktif melakukan praktik-praktik etnosida atau pembasmian identitas masyarakat hukum adat yang berada di kawasan hutan,” tuturnya.
Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Selain melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan sektor kehutanan, Walhi Sumbar juga meminta Gubernur Mahyeldi untuk mengoreksi kebijakan pada sektor infrastruktur dan energi. Ia menegaskan, pemerintah harus konsisten menerapkan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) dalam setiap kebijakan pembangunan.
Prinsip ini dinilai seringkali diabaikan oleh pemerintah dalam menjalankan agenda pembangunan. Pengabaian ini pada akhirnya bakal menuai penolakan masyarakat sekitar terdampak, yang pada akhirnya hanya akan menambah deretan panjang titik-titik konflik agraria di Sumbar.
Wengki mencontohkan pembangunan Jalan Tol Padang–Pekanbaru yang diwarnai tindak pidana korupsi. Proses pembangunannya pun telah melahirkan bencana sosial-ekologis yang luar biasa besar bagi masyarakat sekitar.
“Material dari tambang ilegal yang digunakan untuk pembangunan jalan tol itu telah menghancurkan lingkungan dan memporak-porandakan pemukiman masyarakat. Begitupun pada Jalan Tol Seksi Pangkalan–Payakumbuh di Kabupaten Limapuluh Kota. Trase jalan tol yang direkomendasikan justru menjadi alat penghancur kawasan inti masyarakat adat seperti rumah gadang dan sebagainya,” katanya.
Pengabaian prinsip FPIC oleh Pemprov Sumbar pada periode pertama Mahyeldi juga terbukti terjadi pada rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Singkarak yang hingga kini masih menuai penolakan dari masyarakat sekitar.
Mega proyek yang dilakukan atas nama energi baru terbarukan (EBT) itu nyatanya sudah direkomendasikan Gubernur Mahyeldi ke pemerintah pusat kendati proses dialog dan sosialisasi belum pernah dilakukannya langsung ke tengah masyarakat di tingkat tapak.
“Gambar rencana proyeknya sudah ada. Target kapan PLTS itu berjalan pun sudah ada. Tapi masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam pembahasannya. PLTS Singkarak memicu trauma baru bagi masyarakat. Selain karena menjadi korban PLTA Singkarak pada masa lalu, beban Singkarak hari ini juga cukup berat. Termasuk menjadi danau dengan kategori danau sangat kritis di Indonesia,” katanya.
Pola-pola pengabaian prinsip FPIC dalam agenda pembangunan dan investasi yang sama juga dilakukan Mahyeldi pada kasus Proyek Strategis Nasional (PSN) Air Bangis yang menuai gelombang protes dari ribuan masyarakat.
“Air Bangis ditujukan untuk industri refinery & petrochemical serta sarana pendukung bagi PT Abaco Pasifik Indonesia pada lahan seluas ± 30.000 hektare. Prinsip FPIC juga tidak berjalan di sini. Tidak kurang dari 20.000 jiwa terdampak akibat proyek ini. Jika proyek dilanjutkan, maka sekitar 20.000 hektare hutan akan dikonversi menjadi kawasan industri. Ironisnya, masyarakat adat dan komunitas lokal dieksklusi dan masuk penjara atas nama hutan, namun hutan dieksklusi atas nama investasi,” tuturnya.
Selanjutnya, Walhi juga mendesak Gubernur Mahyeldi dan Pemprov untuk segera memulihkan degradasi lingkungan yang terjadi akibat perluasan budidaya tambak udang ilegal maupun legal di kawasan pesisir pantai Sumbar.
Ia menyebut, sebagian hutan bakau telah dikonversi menjadi tambak udang, termasuk untuk kebun sawit. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumbar mencatat, baku mutu air laut dan sungai di Padang Pariaman telah terlampaui akibat limbah tambak udang. Beberapa waktu lalu, kolam bekas tambak udang bahkan telah menjadi alat pembunuh anak kecil di sekitar lokasi tambak.
Walhi juga meminta Pemprov dan Gubernur Mahyeldi membuat peta jalan (roadmap) pemulihan hak ulayat untuk mengurai konflik agraria yang menumpuk di Agam, Pasaman Barat, hingga Dharmasraya, utamanya terkait perizinan perusahaan sawit.
“Situasi saat ini, HGU-HGU (perkebunan monokultur sebagian sudah dan akan berakhir. Kita tahu bahwa lokasi yang dibebani perkebunan seluruhnya tanah ulayat, dan sejak mereka hadir justru menimbulkan banyak konflik,” katanya.
Pembuatan roadmap penyelesaian konflik agraria ini diharapkan dapat mengurai konflik yang sudah terjadi bertahun-tahun di Dharmasraya, Agam, Solok Selatan, Pasaman dan Pasaman Barat, hingga Mentawai.
Secara khusus Walhi juga mendesak penyelesaian akar bencana ekologis yang terjadi sepanjang tahun di hampir seluruh kabupaten/kota. Situasi ini terjadi akibat akumulasi krisis ekologis, ketidakadilan, dan salahnya sistem pengurusan alam.
Adapun akar bencana ekologi itu adalah investasi dan pembangunan yang tidak berbasis pada aspek mitigasi bencana, seperti tambang galian C di kawasan Air Dingin, Solok yang izinnya bahkan diterbitkan di kawasan Sesar Semangko. “Contoh berikutnya, pembangunan di kawasan Lembah Anai. Untuk urusan ini, perlu upaya konkret audit lingkungan hidup secara utuh dan menyeluruh,” ucapnya.
Jangan Menambah Izin Jika Tak Ingin Menambah Konflik
Pada kesempatan yang sama, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Rifai ikut menambahkan daftar PR untuk pasangan Mahyeldi-Vasko. Menurut Rifai, langkah pemerintah menerbitkan perizinan kehutanan adalah bom waktu, yang pada saatnya nanti akan menambah deretan panjang konflik agraria. “Jika Mahyeldi dan Vasko tidak ingin menambah konflik masyarakat, maka jangan ditambah lagi perizinan perusahaan kayu di Sumbar,” ucapnya.
Ia juga menegaskan, masyarakat Sumbar tidak pernah memilih pasangan Mahyeldi-Vasko untuk menjadi perwakilan pemerintah pusat di Sumbar. Gubernur Sumbar dipilih untuk mewujudkan kepentingan lingkungan dan masyarakat Sumbar.
“Jadi, jangan mengakomodir semua kepentingan Jakarta yang berpotensi menyengsarakan masyarakat adat. Bertindaklah sebagai niniak mamak yang inklusif dan mampu menyelesaikan masalah,” katanya.
Koordinator SIEJ Simpul Sumbar, Jaka HB mengatakan, kerja-kerja jurnalis mengawasi kebijakan-kebijakan lingkungan semakin kompleks. Sebab, beberapa waktu lalu presiden mengucapkan pernyataan mendukung sawit dan jangan takut deforestasi. Jaka mengungkapkan bahwa dari tahun 2011 hingga 2016, sekitar 15 ribu hektare tutupan hutan Sumbar telah menghilang. Begitupun dengan setengah garis pantai Sumbar yang mengalami abrasi. “Untuk itu, marilah kita bersama-sama ambil bagian dalam upaya penyelamatan menuju Sumbar pulih,” ujarnya. (*)