Walhi juga meminta Pemprov dan Gubernur Mahyeldi membuat peta jalan (roadmap) pemulihan hak ulayat untuk mengurai konflik agraria yang menumpuk di Agam, Pasaman Barat, hingga Dharmasraya, utamanya terkait perizinan perusahaan sawit.
“Situasi saat ini, HGU-HGU (perkebunan monokultur sebagian sudah dan akan berakhir. Kita tahu bahwa lokasi yang dibebani perkebunan seluruhnya tanah ulayat, dan sejak mereka hadir justru menimbulkan banyak konflik,” katanya.
Pembuatan roadmap penyelesaian konflik agraria ini diharapkan dapat mengurai konflik yang sudah terjadi bertahun-tahun di Dharmasraya, Agam, Solok Selatan, Pasaman dan Pasaman Barat, hingga Mentawai.
Secara khusus Walhi juga mendesak penyelesaian akar bencana ekologis yang terjadi sepanjang tahun di hampir seluruh kabupaten/kota. Situasi ini terjadi akibat akumulasi krisis ekologis, ketidakadilan, dan salahnya sistem pengurusan alam.
Adapun akar bencana ekologi itu adalah investasi dan pembangunan yang tidak berbasis pada aspek mitigasi bencana, seperti tambang galian C di kawasan Air Dingin, Solok yang izinnya bahkan diterbitkan di kawasan Sesar Semangko. “Contoh berikutnya, pembangunan di kawasan Lembah Anai. Untuk urusan ini, perlu upaya konkret audit lingkungan hidup secara utuh dan menyeluruh,” ucapnya.
Jangan Menambah Izin Jika Tak Ingin Menambah Konflik
Pada kesempatan yang sama, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Rifai ikut menambahkan daftar PR untuk pasangan Mahyeldi-Vasko. Menurut Rifai, langkah pemerintah menerbitkan perizinan kehutanan adalah bom waktu, yang pada saatnya nanti akan menambah deretan panjang konflik agraria. “Jika Mahyeldi dan Vasko tidak ingin menambah konflik masyarakat, maka jangan ditambah lagi perizinan perusahaan kayu di Sumbar,” ucapnya.