Sebagai ditulis dalam Ensiklopedia Tokoh 1001 Orang Minang (2023, Jilid 2:131-133), Prof. Dr. Hasjim Djalal dilahirkan di Ampek Angkek, Agam, 25 Februari 1934, dari ayah bernama Haji Djamaluddin dan ibu bernama Salamah. Sejak kecil ia sudah bercita-cita menjadi diplomat. Ketika masih duduk di kelas 2 SMP (1948) di Bukittinggi, dia sudah banyak membaca buku-buku sejarah. Dia antara lain sangat tertarik dengan kisah kehidupan Jose Rizal, Mahatma Gandhi, dan cerita-cerita tentang sejarah Romawi, serta kisah kepahlawanan Pangeran Diponegoro.
Tamat SMP, Hasjim melanjutkan ke SMA Birugo (kini SMA Negeri 2) Bukittinggi. Di sekolah bersejarah eks Sekolah Rajo (Kweekschool Fort de Kock) ini Hasjim segenerasi dengan sejumlah pemuda yang kemudian tercatat sebagai generasi emas Minangkabau awal 1950-an. Mereka antara lain Prof. Taufik Abdullah, Drs. Hasan Basri Durin, Prof. Dr. Umar Junus, Prof. dr. Kamardi Thalut, Prof. Ir. Ezrin Arbi, dan dua tokoh yang kemudian juga jadi diplomat, yakkni Boer Maoena dan Wisber Loeis.
Saat lulus dari SMA (1953), Hasjim pun berangkat ke Jakarta untuk sekolah di Akademi Dinas Luar Negeri. Ia lulus tes dan diterima sebagai mahasiswa ikatan dinas. Tamat dari Akademi Dinas Luar Negeri, Hasjim mulai meniti karier di Kementerian Luar Negeri RI terhitung 1 Januari 1957. Pertama kali ditugaskan dia dikirim ke Irian Barat (kini Papua) yang kala itu masih dikuasai Belanda dan sedang berlangsung diplomasi untuk dikembalikan kepada Indonesia.
Hasjim ditempatkan sebagai legal advisor di perwakilan pemerintah pada UNTEA (United Nations Temporary Executive Administration), badan PBB dengan misi mempersiapkan peralihan pemerintahan di Irian dari Belanda ke PBB lalu ke Indonesia. Di sana dia ditunjuk jadi interpreter (penerjemah) untuk Administrator PBB, Djalal Abduh, yang berasal asal Iran. Sebagai penerjemah Hasjim selalu mengikuti dan mendampingi Djalal Abduh berkeliling Irian, dan bisa menimba banyak pengalaman dari diplomat tersebut..
Setelah bertugas di Irian, dia ditempatkan pada Direktorat Hukum Deplu (sekarang namanya Direktorat Perjanjian Internasional). Hanya enam bulan setelah itu, dia pergi ke Amerika untuk melanjutkan S-2 dan S-3 selama empat tahun di University of Virginia. Tahun 1961 dia sudah menggondol gelar Doktor (Ph.D.) dengan disertasi mengenai kelautan: The Limit and Territorial Sea in International Law (Batas dan Wilayah Laut dalam Hukum Internasional). University of Virginia yang menganut intellectual liberty, menganggap disertasi itu sebagai karya ilmiah yang sepatutnya dihargai. Sejak itu, dia dikenal sebagai ahli hukum laut internasional yang pertama di Indonesia.
Ketertarikan Hasjim Djalal terhadap hukum laut bermula ketika pada tanggal 13 Desember 1957, Perdana Menteri Ir Djoeanda mendeklarasikan bahwa laut antarpulau Indonesia adalah wilayah Indonesia. Deklarasi ini mendapat tantangan dari seluruh dunia, terutama Amerika Serikat, Jepang dan Australia. Tindakan Indonesia dianggap ”merampok” laut yang menurut negara-negara tadi adalah wilayah internasional. Terilhami oleh kasus itulah Hasjim menjadi orang Indonesia pertama yang menulis disertasi tentang kelautan. Disertasi Hasjim itu mendapat perhatian berbagai kalangan, terutama TNI Angkatan Laut. Maka sepulang ia dari Amerika, Kepala Staf TNI AL Laksamana R.E. Martadinata langsung meminta Hasjim menjadi Sekretaris Panitia Hukum Dewan Maritim yang diketuai Martadinata.
Konsep Hasjim –dan kemudian ia perjuangkan bersama Mochtar Kusumaatmadja – mulanya disandarkan pada pendapat orang Norwegia, Jens Evensen, yang pada tahun 1948 menulis bahwa gugus pulau bisa dianggap sebagai satu unit. Jens Evensen merinci gugus pulau itu dalam ukuran kecil-kecil (seperti Pulau Seribu). Teori itu berkembang, lalu dalam konvensi tahun 1958 dikatakan bahwa gugus pulau sepanjang pantai juga bisa dianggap menyatu dengan pantai unitnya itu.
Teori Jens Evensen tidak persis cocok bila digunakan untuk Indonesia yang pulaunya besar-besar. Gugusan pulau yang bertebaran seperti di Indonesia dengan jarak ribuan mil, susah bagi orang mencari teori bagaimana menyatukannya. Tapi Hasjim dan Mochtar mengembangkan teori bahwa satu negara yang terdiri atas kepulauan, dianggap satu dan berhak menyatukan seluruh perairan di dalamnya sebagai wilayah nasionalnya.