Perjuangan atas teori dan gagasan itu ditempuh melalui jalan panjang dan berliku. Prof. Dr. Hasjim Djalal dan Mochtar menghadiri berbagai konferensi internasional untuk mengetes sikap negara lain berdasarkan teori itu, lalu mencari dukungan untuk mengujudkannya bagi kepentingan Indonesia. Teori dan konsep itu antara lain pernah diajukan dalam pertemuan internasional di Kairo (1964), Konferensi ke-3 PBB (1967), hingga pertemuan Badan Hukum Asia-Afrika di Colombo, Srilanka (1971). Dengan perjuangan diplomasi panjang bertahun-tahun dan manfaatkan solidaritas negara Asia-Afrika, akhirnya Indonesia mendapat dukungan dunia internasional.
Pada 1972 Indonesia pun merumuskan prinsip-prinsip pokok negara kepulauan tersebut, sementara dukungan internasional juga terus digalang. Pada Konferensi PBB 1973, Hasjim aktif menggalang dukungan negara-negara tetangga dan negara-negara kepulauan seperti Filipina, Fiji, dan Mauritius. Dikirim oleh pemerintah, Hasjim berkali-kali menghadiri pertemuan bidang kelautan di berbagai belahan dunia. Walhasil, banyak negara mendukung konsep wawasan nusantara atau negara kepulauan tersebut. Termasuk Konferensi di Caracas yang berlangsung tahun 1974. Akan tetapi, Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan Australia, sebagai negara-negara maritim internasional yang punya perkapalan, angkatan laut, dan kepentingan besar di wilayah laut di seluruh dunia, berupaya keras menentangnya. Mereka kuatir bahwa konsep Wawasan Nusantara akan merintangi dan menghalangi mobilitas angkatan laut mereka dari satu samudera ke samudera lain.
Namun berkat keuletan Prof. Dr. Hasjim Djalal dan Mochtar Kusumaatmadja memperjuangkannya, konsep Wawasan Nusantara akhirnya bisa diterima dunia. Dalam Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982, seluruh negara di dunia mengakui bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dan laut yang terletak di antara pulau-pulau tersebut merupakan bagian dari negara Indonesia.
Konvensi Hukum Laut Internasional atau dalam bahasa Inggris disebut United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III) tahun 1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut.
Bagi Indonesia, UNCLOS sangat bermakna dan berarti karena dengan adanya Konvensi ini Indonesia diakui secara yuridis sebagai negara kepulauan oleh negara-negara di dunia, memiliki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil laut dari pantai dan lebar laut teritorial 12 mil. Dan, yang paling penting lagi, antara pulau yang satu dengan pulau lainnya tidak ada perairan bebas atau perairan internasional.
UNCLOS yang dilahirkan tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. Konvensi Hukum Laut Internasional ini secara efektif diberlakukan pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke-60 yang menandatangani perjanjian tersebut. Hingga saat ini sudah 158 negara, termasuk Uni Eropa, telah bergabung dalam UNCLOS.
***
Selain diakui sebagai ahli hukum laut internasional yang mumpuni, Hasjim Djalal dikenal pula sebagai diplomat karier yang handal. Penugasan pertamanya di luar negeri sebagai diplomat adalah di Beograd, Yugoslavia (1964), setelah itu melanglang buana ke berbagai penjuru dunia. Di antaranya, Prof. Dr. Hasjim Djalal pernah menjabat Duta Besar Indonesia untuk PBB (1981-1983), Dubes RI di Kanada (1983-1985), dan Dubes di Jerman (1990-1993). Setelah itu, selama enam tahun ia ditugaskan sebagai Duta Besar Keliling pada akhir pemerintahan Soeharto hingga masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.
Secara resmi Hasjim pensiun sebagai pegawai negeri sipil (PNS) sejak tahun 1994. Namun setelah pensiun, ia masih aktif menulis buku dan artikel di berbagai media serta berbicara di berbagai forum internasional tentang masalah hukum laut internasional. Ia juga masih sibuk melayani kontak dari kolega-kolega internasionalnya. Lama setelah pensiun dia masih dipercaya duduk sebagai Anggota Dewan Martim Indonesia, Penasihat Senior Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Penasihat Kepala Staf TNI Angkatan Laut. Selain itu, ia juga pernah menjadi anggota Komisi Konstitusi yang mengkaji amandemen UUD 45.
Selain disertasinya yang terkenal, Hasjim juga penulis sejumlah buku, antara lain: (1) Indonesian Struggle for the Law of the Sea (1979), (2) Indonesia and the Law of the Sea (1995), serta (3) Preventive Diplomacy in Southeast Asia: Lesson Learned (2003). Menikah dengan Jurni (kemudian jadi Ny. Jurni Hasjim Djalal), perempuan asal Solok, pasangan ini dikaruniai tiga anak. Yang tertua, Iwan Djalal, seorang profesional yang jadi eksekutif perusahaan swasta; kedua, Dino Pati Djalal, mengikuti jejaknya sebagai diplomat dan pernah menjabat Dubes RI di Amerika Serikat serta Wakil Menteri Luar Negeri masa Presiden SBY; dan yang ketiga, Dini Djalal, menjadi wartawan dan tinggal di Amerika. (h/Hasril Chaniago)