Namun ia mengingatkan bahwa keberhasilan proyek sangat tergantung pada penyelesaian lahan, kualitas konstruksi, serta integrasi dengan infrastruktur lainnya seperti Tol Padang–Sicincin.
Huriyatul juga memetakan beberapa sektor utama ekonomi lokal Sumbar, antara lain pertanian (menyumbang 25 persen terhadap PDRB), perdagangan (15 persen), pariwisata (10 persen), dan UMKM (menyerap sekitar 40 persen tenaga kerja). Ia menyoroti tantangan besar seperti kemiskinan pedesaan yang lebih tinggi (7 persen) dibandingkan perkotaan (5 persen) serta biaya logistik yang 15 persen lebih mahal dibandingkan Pulau Jawa.
Terkait kunjungan Menteri Sosial dan pengumuman program bantuan sosial (bansos), Huriyatul menekankan bahwa bansos harus dipadukan dengan program sektoral untuk dampak jangka panjang. “Dengan tingkat kemiskinan 6,2 persen atau sekitar 340 ribu jiwa, bansos harus terintegrasi dengan program pertanian dan pariwisata, bukan hanya berupa BLT. Misalnya subsidi benih dan kebutuhan dasar untuk petani lebih berkelanjutan,” jelasnya.
Merujuk pada data Kemensos 2024, Sumbar memiliki sekitar 250 ribu keluarga penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH). Jika dana Rp2,4 triliun dialokasikan untuk program ini, maka setiap keluarga bisa menerima sekitar Rp9,6 juta per tahun—angka yang jauh di atas rata-rata bansos tahunan Rp3–4 juta per keluarga.
Namun ia menegaskan pentingnya transparansi distribusi agar dana ini benar-benar menyasar kelompok miskin ekstrem yang jumlahnya diperkirakan sekitar 1,9% dari total penduduk Sumbar. “Bansos penting untuk daya beli rumah tangga miskin, apalagi di tengah inflasi pangan yang mencapai 3,5% di Sumbar. Tapi ini belum cukup untuk mengatasi masalah struktural seperti pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja,” tambahnya.
Huriyatul juga mengaitkan jumlah bansos dengan skala ekonomi provinsi. Berdasarkan data BPS 2024, PDRB Sumbar pada 2023 tercatat sekitar Rp283,7 triliun. Dengan populasi sekitar 5,58 juta jiwa, maka dana Rp2,4 triliun setara dengan sekitar Rp430.000 per kapita atau hanya 0,85 persen dari total PDRB. “Nilai itu signifikan bagi rumah tangga miskin, tapi masih kecil jika dilihat dalam skala ekonomi provinsi,” pungkasnya. (*)