PADANG, HARIANHALUAN.ID – Dalam sepekan terakhir, Sumatera Barat (Sumbar) kedatangan lima tokoh penting kabinet Merah Putih. Tiga menteri dan dua wakil menteri menginjakkan kaki di Ranah Minang. Gelombang kunjungan pejabat negara ini diharapkan bukan sekadar seremonial semata.
Harapan besar mengemuka agar kunjungan-kunjungan ini membawa hasil konkret yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Evaluasi berkala dan transparansi terhadap implementasi proyek-proyek strategis menjadi kunci untuk memastikan bahwa perhatian pusat benar-benar berdampak positif dan berkelanjutan.
Kedatangan terbaru adalah Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Dody Hanggodo, pada Jumat (2/5) sore. Sebelumnya, Sumbar telah disambangi Wakil Menteri Koperasi dan UMKM, Helvi Yuni Moraza; Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid; Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto; serta Menteri Sosial, Syaifullah Yusuf.
Pakar Ekonomi Syariah dari UIN Imam Bonjol Padang, Huriyatul Akmal M.Si, menyatakan bahwa narasi “perhatian besar ke Sumbar” sengaja dibangun untuk menarik dukungan elektoral. Namun, menurutnya, publik tetap menuntut transparansi dan realisasi nyata, bukan hanya seremonial. “Kepentingan politik bisa berdampak positif jika diimbangi dengan pengawasan ketat dan keterlibatan masyarakat lokal,” ujarnya, Minggu (4/5).
Huriyatul juga melihat bahwa kunjungan para menteri turut menjawab pertanyaan publik mengenai kinerja nyata pemerintah daerah di tengah keterbatasan anggaran. “Dengan kedatangan para menteri, publik bisa melihat bahwa Pemprov Sumbar masih ‘bakarajo’ (bekerja nyata), terutama dalam konteks efisiensi anggaran,” imbuhnya.
Namun ia mengingatkan, di balik seremoni yang tampak, diperlukan pengawalan ketat terhadap proyek-proyek infrastruktur yang dijanjikan. Huriyatul mencontohkan proyek tol Padang-Pekanbaru yang kini mandek di segmen Padang–Sicincin sebagai pelajaran penting. “Koordinasi lintas sektoral harus diperkuat agar proyek-proyek ini tidak berujung pada kekecewaan publik seperti sebelumnya,” katanya kepada Haluan Minggu (4/5) di Padang.
Salah satu proyek yang menjadi sorotan adalah pembangunan Flyover Sitinjau Lauik. Menurut Huriyatul, proyek ini memiliki potensi besar dalam meningkatkan efisiensi logistik, keselamatan transportasi, serta pariwisata. Efek ekonomi dari proyek ini dinilai dapat langsung dirasakan dalam bentuk penciptaan lapangan kerja dan peningkatan peran UMKM, serta secara tidak langsung mendorong ekspor dan investasi.
Namun ia mengingatkan bahwa keberhasilan proyek sangat tergantung pada penyelesaian lahan, kualitas konstruksi, serta integrasi dengan infrastruktur lainnya seperti Tol Padang–Sicincin.
Huriyatul juga memetakan beberapa sektor utama ekonomi lokal Sumbar, antara lain pertanian (menyumbang 25 persen terhadap PDRB), perdagangan (15 persen), pariwisata (10 persen), dan UMKM (menyerap sekitar 40 persen tenaga kerja). Ia menyoroti tantangan besar seperti kemiskinan pedesaan yang lebih tinggi (7 persen) dibandingkan perkotaan (5 persen) serta biaya logistik yang 15 persen lebih mahal dibandingkan Pulau Jawa.
Terkait kunjungan Menteri Sosial dan pengumuman program bantuan sosial (bansos), Huriyatul menekankan bahwa bansos harus dipadukan dengan program sektoral untuk dampak jangka panjang. “Dengan tingkat kemiskinan 6,2 persen atau sekitar 340 ribu jiwa, bansos harus terintegrasi dengan program pertanian dan pariwisata, bukan hanya berupa BLT. Misalnya subsidi benih dan kebutuhan dasar untuk petani lebih berkelanjutan,” jelasnya.
Merujuk pada data Kemensos 2024, Sumbar memiliki sekitar 250 ribu keluarga penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH). Jika dana Rp2,4 triliun dialokasikan untuk program ini, maka setiap keluarga bisa menerima sekitar Rp9,6 juta per tahun—angka yang jauh di atas rata-rata bansos tahunan Rp3–4 juta per keluarga.
Namun ia menegaskan pentingnya transparansi distribusi agar dana ini benar-benar menyasar kelompok miskin ekstrem yang jumlahnya diperkirakan sekitar 1,9% dari total penduduk Sumbar. “Bansos penting untuk daya beli rumah tangga miskin, apalagi di tengah inflasi pangan yang mencapai 3,5% di Sumbar. Tapi ini belum cukup untuk mengatasi masalah struktural seperti pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja,” tambahnya.
Huriyatul juga mengaitkan jumlah bansos dengan skala ekonomi provinsi. Berdasarkan data BPS 2024, PDRB Sumbar pada 2023 tercatat sekitar Rp283,7 triliun. Dengan populasi sekitar 5,58 juta jiwa, maka dana Rp2,4 triliun setara dengan sekitar Rp430.000 per kapita atau hanya 0,85 persen dari total PDRB. “Nilai itu signifikan bagi rumah tangga miskin, tapi masih kecil jika dilihat dalam skala ekonomi provinsi,” pungkasnya. (*)