Catatan: Hasril Chaniago
Berkunjung ke negeri mayoritas non-muslim seperti Negeri China (Tiongkok) ini, bagi seorang muslim sering masalah pokoknya adalah soal isi perut. Tegasnya, soal makanan halal.
Saya pertama berkunjung ke China bulan Oktober 2014 atas ajakan seorang sahabat, Vier Jamal namanya. Selain untuk meninjau kapal yang akan dibelinya di sebuah galangan kapal di pantai Selat Taiwan, Provinsi Fujian, perjalanan ini sekaligus dalam rangka menulis memoar kawan yang saat itu sedang jadi buronan Interpol. Karena keadaan itu, pertemuan kami biasanya di luar negeri. Di Singapura, Malaysia, bahkan Hongkong, dan China.
Dari Kuala Lumpur kami terbang ke Hong Kong, selanjutnya disambung satu setengah jam lagi ke Changle International Airport di Kota Fuzhou, ibu kota Provinsi Fujian. Ternyata di Hotel Crown tempat kami menginap tidak menyediakan makanan halal. Walhasil, keesokan hari, kami sarapan pagi di restoran hotel hanya dengan telur rebus dan buah-buah segar saja. “Roti pun belum tentu terjamin kehalalannya, Pak,” kata Vier ke saya. Kami baru menemukan sebuah restoran halal friendly di Hotel InterContinental pada malam harinya.
Karena pengalaman itu, sebelum bertolak ke Yunnan pertengahan Juni lalu, yang pertama jadi perhatian saya, dan mungkin seluruh rombongan yang beragama Islam, tentulah soal makanan ini. Saya searching melalui aplikasi Google dan ChatGPT. Ternyata sudah banyak restoran halal atau hotel dan gerai yang menyediakan halal food di seluruh Tiongkok. Tak kecuali di Yunnan, sudah sangat banyak restoran halal dan hotel-hotel yang berlabel halal friendly. Termasuk di Wyndham Grand Plaza Royale Colorful Yunnan, hotel bintang lima yang sudah di-booking oleh Pemerintah Provinsi Yunnan untuk tamu-tamu berbagai negara yang diundang ke Kunming Fair dan “Yunnan International Friendship Cities Week 2025”. Bukan hanya kami dari Sumatera Barat yang mayoritas beragama Islam, juga tamu dari Malaysia, Afghanistan, Pakistan, India, Maroko, dan lain-lain.
Di restoran di lantai 3 Hotel Wyndham, berbagai jenis makanan ditata dengan rapi, dan banyak disediakan gerai-gerai khusus dengan label “Halal Food”. Di situlah kami, termasuk Gubernur, Buya Mahyeldi dan istri, mengisi perut tiga kali sehari selama di Kota Kunming.
Makanan Halal di China
Makanan halal sudah dikenal di China sejak abad ke-7 Masehi. Komunitas Muslim di Tiongkok (terutama etnis Hui dan Uighur) sudah lama memiliki tradisi makanan halal berbasis komunitas dan masjid. Pada era Mao Zedong (1950-an–1976), kebijakan negara China bersifat sentralistik dan sekuler, sehingga tidak ada sistem sertifikasi halal resmi. Namun, makanan halal tetap diproduksi di daerah muslim seperti Ningxia dan Xinjiang, serta di kalangan komunitas suku Hui di daerah Honghe, Yunnan.