Angin reformasi dan rekonsiliasi ini dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh Muslim Hui untuk membangun kembali Masjid Raya Shadian yang lebih besar. Tokoh utama di balik pembangunan baru masjid ini adalah Ma Xirong, seorang pemimpin Muslim Hui yang sangat berpengaruh di Shadian dan Yunnan umumnya. Setelah masa Revolusi Kebudayaan berakhir, Ma Xirong adalah salah satu tokoh pertama yang mengajukan permohonan kepada pemerintah di Beijing untuk membangun kembali masjid-masjid yang dihancurkan di Shadian. Ia sekaligus menjadi ketua panitia pembangunan Masjid Raya Shadian yang baru.
Bersama tokoh-tokoh lokal lainnya, ia memimpin penggalangan dana dari umat Islam lokal, diaspora Hui, dan bahkan dari luar negeri. Masjid baru ini menelan dana pembangunan sekitar 130 juta yuan atau sekitar 20 juta dolar Amerika kurs waktu itu. Sebagian besar, lebih 90 persen, berasal dari para pengusaha Muslim dan komunitas Hui sendiri. Konon, donatur terbesar adalah seorang pengusaha pabrik logam, Hajji Wang, yang disebut menyumbang sekitar 100 juta yuan atau sekitar 15 juta dolar Amerika.
Pada tahun 2010 wujudlah bangunan baru Masjid Raya Shadian dengan total luas lantai banunan 13.000 meter di atas lahan 2,1 hektar di pusat Kota Shadian. Masjid baru berarsitektur mirip Masjid Nabawi Madinah, dengan kubah hijau besar serta empat menara tinggi menjulang, tercatat sebagai masjid terbesar di seluruh Tiongkok. berkapasitas 10.000 jamaah untuk shalat Jumat, dan bisa menampung 20.000 jemaah termasuk di halaman ketika shalat Idul Fitri dan perayaan hari besar Islam.
Antara 2022–2024, masjid tersebut direnovasi ulang sebagai bagian dari kebijakan “sinicization of Islam” (penyesuaian arsitektur Islam dengan budaya Tiongkok), yang mencakup penggantian kubah dan menara Arab dengan atap ala pagoda dan menara ala Tiongkok. Konon biaya renovasi ulang tersebut 21 juta dolar Amerika, lebih besar dari biaya pembangunan baru sebelumnya. Untunglah sebagian besar biaya “sinisisasi” ini ditanggung pemerintah provinsi dan pusat Tiongkok. Namun kontribusi komunitas Muslim Hui tetap signifikan.
Kehadiran Masjid Raya Shadian sebagai masjid terbesar di Tiongkok, mengukuhkan julukan kota tersebut sebagai Little Mecca of China, pusat spiritual dan kebudayaan Islam di Yunnan dan Tiongkok. Menurut informasi dari petugas masjid yang kami temui, ada sekitar 30 orang pegawai yang mengurus operasional sehari-hari. Seluruh biaya operasional dan kegiatan masjid itu ditanggung oleh para donatur, yaitu para pengusaha Muslim Shadian dan sekitarnya.
Kami berada di Masjid Raya Shadian sekitar 2 jam lebih. Utamanya untuk shalat Zuhur dan Ashar dijamak taqdim qashar dengan imam Prof. Musliar Kasim. Setelah itu meninjau dan berkeliling ke ruang-ruangan yang ada serta pekarangan dan lanskap masjid yang asri. Sayang kami tak sempat menikmati jadwal salat di masjid tersebut, karena sebelum waktu Ashar pukul enam lewat kami sudah harus meninggalkan Shadian dan meneruskan perjalanan ke Bandara Changshui, Kunming, untuk kembali ke Indonesia via Kuala Lumpur dini hari Selasa 24 Juni 2025. (*)