PADANG, HARIANHALUAN.ID — Penurunan angka kemiskinan Sumatera Barat (Sumbar) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2025 mendapat tanggapan kritis dari kalangan akademisi. Salah satunya datang dari Pakar Ekonomi Universitas Islam Negeri (UIN) Mahmud Yunus Batusangkar, Mohammad Aliman Shahmi, yang menilai bahwa angka statistik tak selalu mencerminkan kondisi nyata masyarakat di lapangan.
“Statistik seharusnya menjadi cermin yang jujur, bukan perisai untuk menolak kritik. Angka kemiskinan yang turun harus dibaca dengan penuh kewaspadaan,” ujar Shahmi kepada Haluan, Minggu (27/7/2025).
Menurutnya, data kemiskinan ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi bisa menggambarkan kemajuan, namun di sisi lain berpotensi menutupi kenyataan bahwa jurang ketimpangan antarwilayah masih menganga lebar.
Baca Juga: Tingkat Kemiskinan Sumbar Turun, BPS Catat 312,35 Ribu Penduduk Miskin per Maret 2025
Ia mengingatkan bahwa situasi ini juga berdampak pada ketahanan sosial masyarakat miskin yang semakin rapuh, memperlebar ketimpangan pembangunan antara kota dan desa, serta menggeser pola konsumsi gizi masyarakat akibat belanja yang lebih besar untuk rokok dibanding makanan bergizi.
Kompleksitas Kemiskinan di Pedesaan
Shahmi juga menyoroti tren meningkatnya kemiskinan di wilayah pedesaan, yang menurutnya memiliki akar permasalahan yang rumit. Salah satu faktor utama adalah struktur sosial dan ekonomi pedesaan di Sumbar yang masih sangat dipengaruhi oleh sistem adat dan harta pusaka tinggi, sehingga menghambat optimalisasi potensi ekonomi lokal.
“Kehidupan masyarakat di desa-desa di Sumbar masih didominasi oleh tatanan adat, khususnya dalam pengelolaan potensi ekonomi yang diatur secara komunal,” ujarnya.
Meskipun pemerintah telah menggelontorkan alokasi dana desa dalam jumlah besar, Shahmi mempertanyakan efektivitasnya di lapangan. Ia menilai ada ketimpangan dalam implementasi kebijakan tersebut, khususnya terkait perbedaan definisi antara desa/nagari versi Sumbar dengan definisi desa secara nasional.
“Di Sumbar, satu nagari bisa terdiri dari dua hingga tiga jorong. Sedangkan pusat menganggap satu nagari adalah satu desa. Ini menimbulkan tumpang tindih kebijakan dan bisa berdampak pada distribusi anggaran pembangunan,” katanya.
Situasi ini, lanjut Shahmi, bisa menjadi salah satu penyebab masih lebarnya jurang pembangunan antara kota dan desa. Oleh sebab itu, evaluasi menyeluruh terhadap program penanggulangan kemiskinan di tingkat desa/nagari sangat diperlukan.