PADANG, HARIANHALUAN.ID – Pengamat Budaya dari Universitas Andalas (UNAND) Padang, Dr. Drs. Hasanuddin, M.Si., mengatakan kemadaran sebagian besar masyarakat dalam menyikapi kemacetan tak terlepas dari pola didik yang diterimanya dari keluarga dan lingkungan yang membentuknya.
Keluarga dan lingkungan menjadi ukuran bagi setiap orang yang menjadikan suatu kebiasaan itu dinilai baik atau buruknya. Dalam hal ketidaksabaran dan ketidaktaatan pengendara dalam berlalu lintas yang menyebabkan kemacetan di jalan raya, tentu mereka nilai dari sebuah kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dan dilihatnya.
“Kebiasaan yang telah mereka lihat dan dianggap sah-sah saja, maka mereka akan menganggapnya lumrah. Apalagi dirinya juga dihadapkan dengan itu (kemacetan) dan desakan batin melihat tidak akan menjadi soal, lalu mereka pun juga ikut karena hasratnya sendiri. Dan orang lain yang menganggap aman-aman saja lalu mengikutinya dan akhirnya menjadi kebiasaan buruk,” katanya kepada Haluan, Selasa (29/7).
Hasanuddin menjelaskan bahwa hal ini bukan disebut kebudayaan, karena kebudayaan itu tidak berorientasi pada keburukan. Hal itu jelas karena kebiasaan buruk yang malah tidak mengikatnya secara nilai dan norma. Orang-orang yang menerobos macet seenaknya, mencari jalan yang cepat atas kehendaknya sendiri, dan cara-cara lain untuk menyelematkan dirinya kemudian menjadi kebiasaan yang dianggapnya tidak masalah, selagi orang menerima dan dalam tanda kutip tak mengganggu.
Dalam hal keluarga pun, katanya, tentu sangat memengaruhi karena keluarga ruang pendidikan pertama seseorang. Ajaran tentang kepatuhan, kedisiplinan, sikap hormat, tenggang rasa, berpikir rasional dan nilai baik lainnya menjadi poin utama dalam mendidik.
Di sisi lain, jelas Hassanuddin, penyebab kemacetan tidak serta merta dikarenakan ketidaksabaran dan ketidaktaatan masyarakat saja. Penyebabnya juga memang disebabkan oleh faktor-faktor infrastruktur dan kondisi jalannya.
Penyebabnya disebabkan oleh penyempitan jalan oleh pengguna badan jalan yang digunakan untuk berjualan, pesta, parkir sembarangan, area putar balik, kecelakaan, atau yang lainnya. Kemudian karena adanya peningkatan kepadatan jalan pada jam-jam tertentu seperti pagi masuk kerja atau sore pulang kerja, dan kondisi lainnya. Persoalan tersebut tentu tidak hanya tentang kebiasaan masyarakat saja, tapi kebijakan pemerintah sangat diperlukan dalam penanganan ini.
“Pemerintah perlu menertibkan pengguna jalan, termasuk menjamin ketersediaan trotoar untuk pejalan kaki, bukan lahan untuk keperluan lain seperti berjualan atau lainnya. Taat aturan perihal penggunaan badan jalan untuk berjualan, pesta atau lainnya, karena itu merupakan fasilitas umum, sehingga perlu kejelasan yang jelas,” katanya. (*)