Lebih lanjut, Yosritzal menyebut bahwa pengawasan angkutan antarprovinsi sepenuhnya berada di bawah kewenangan Kementerian Perhubungan (Kemenhub), sementara dinas perhubungan daerah memiliki kewenangan terbatas. Akibatnya, banyak kendaraan yang tidak melalui jembatan timbang atau lolos dari pengawasan.
Sebagai solusi jangka menengah, Yosritzal mengusulkan pembangunan jalur darurat (emergency exit) di titik-titik rawan, khususnya jalan menurun, untuk mengantisipasi kendaraan yang mengalami rem blong. Jalur tersebut bisa berupa tanjakan pendek dengan bantalan ban di ujungnya.
“Seringnya kecelakaan di jalur lintas Sumbar harus menjadi pengingat bahwa sistem kita masih memiliki banyak celah. Dibutuhkan kesadaran, disiplin, dan integritas dari semua pihak,” ucapnya.
Tak hanya berbahaya, kendaraan ODOL juga kerap memicu kemacetan parah. Truk besar yang lambat saat menanjak atau mogok karena beban berlebih sering kali menyebabkan antrean panjang di jalan raya.
Sebagai solusi jangka pendek, Yosritzal menyarankan penerapan sistem satu arah (one way) di ruas-ruas tertentu pada jam padat. Namun, ia menekankan pentingnya sosialisasi sebelum sistem diberlakukan.
“Pemerintah harus memastikan masyarakat memahami sistem baru sebelum diterapkan. Peta arus lalu lintas, rambu, dan informasi melalui media sosial harus dimaksimalkan,” katanya.
Yosritzal juga mengingatkan pentingnya solusi jangka panjang dengan mengembangkan transportasi publik, khususnya jalur kereta api, sebagai alternatif pengangkutan barang skala besar.
“Jika beban logistik bisa dialihkan dari jalan ke rel, tekanan terhadap jalan raya akan menurun, kemacetan bisa diurai, dan risiko kecelakaan dapat ditekan,” ujarnya.
Ia menutup dengan menekankan bahwa kombinasi antara kesadaran publik, pengawasan ketat, integritas aparat, dan komitmen pemerintah serta masyarakat adalah kunci utama dalam menyelesaikan persoalan ODOL yang terus menghantui keselamatan lalu lintas di Sumatera Barat. (*)