PADANG, HARIANHALUAN.ID — Alarm ekonomi Sumatera Barat (Sumbar) berbunyi nyaring. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi provinsi ini di kuartal II 2025 menjadi yang paling buncit di Sumatera. Sementara daya beli masyarakat melemah, investasi seret, dan belanja pemerintah dinilai belum produktif, pertanyaan pun menggantung: ke mana arah ekonomi Ranah Minang dibawa?
Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat mencatat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kuartal II 2025 hanya mencapai 3,94 persen secara year-on-year (yoy), turun dibanding capaian kuartal I yang berada di angka 4,66 persen. Dibanding kuartal I tahun ini, pertumbuhan hanya naik tipis 1,52 persen.
Analis Ekonomi Indonesia Strategic and Economics Action Institution (ISEAI), Ronny P. Sasmita, mengaku terkejut dengan capaian ini. “Secara komparatif, pertumbuhan ekonomi Sumbar kuartal II tahun ini adalah yang terendah di Sumatera,” ujarnya.
BPS mencatat, provinsi lain masih tumbuh di atas Sumbar, seperti Aceh (4,82 persen), Sumatera Utara (4,69 persen), Riau (4,59 persen), Jambi (4,99 persen), Bengkulu (4,99 persen), Sumatera Selatan (5,42 persen), Lampung (5,9 persen), bahkan Kepulauan Riau yang menembus 7,14 persen. Secara nasional, ekonomi Indonesia tumbuh 5,12 persen yoy pada kuartal II, lebih tinggi dari kuartal sebelumnya yang sekitar 4,7 persen.
Menurut Ronny, lemahnya pertumbuhan Sumbar disebabkan hampir semua sektor tumbuh tipis, kecuali informasi dan komunikasi yang mencatat lonjakan 6,67 persen. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan justru terkontraksi -1,63 persen. Dari sisi pengeluaran, impor tumbuh 64,39 persen, jauh di atas ekspor yang hanya naik 3,50 persen. Konsumsi pemerintah meningkat 20 persen, namun investasi (PMTB) hanya naik 4,04 persen, sedikit di atas pertumbuhan ekonomi daerah.
Yang mengkhawatirkan, konsumsi rumah tangga Sumbar turun 0,15 persen, berbanding terbalik dengan tren nasional yang justru naik tipis karena momentum tahun ajaran baru. Ronny menyebut pelemahan daya beli ini dipicu faktor tekanan pendapatan, pemutusan hubungan kerja, keterlambatan gaji, dan kehati-hatian belanja kelompok menengah atas akibat ketidakpastian ekonomi.