PADANG, HARIANHALUAN.ID — Di tengah kritik pedas atas pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat (Sumbar) yang merosot ke papan bawah nasional, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar memilih menampilkan sisi lain cerita. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dalam setahun terakhir, lebih dari 33 ribu warga berhasil keluar dari jerat kemiskinan, sebuah capaian yang diklaim menjadi bukti bahwa kesejahteraan daerah tak melulu diukur dari angka pertumbuhan PDRB.
Pemprov Sumbar menyatakan memahami kritik para akademisi dan tokoh masyarakat terhadap capaian pertumbuhan ekonomi triwulan II yang dinilai kurang menggembirakan. Kepala Bappeda Sumbar, Medi Iswandi, menilai kekhawatiran itu wajar, mengingat posisi pertumbuhan ekonomi Sumbar masih berada di level bawah secara nasional.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Sumbar Terendah se-Sumatera: Sorotan Pedas untuk Pemimpin Baru
Namun, Medi menegaskan kesejahteraan masyarakat tidak hanya diukur dari Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), melainkan juga indikator lain yang langsung menyentuh kualitas hidup. Salah satunya adalah tingkat kemiskinan. Berdasarkan data BPS, tingkat kemiskinan Sumbar menurun dari 5,97 persen atau 345.730 jiwa pada Maret 2024 menjadi 5,42 persen atau 315.430 jiwa pada September 2024, dan kembali turun menjadi 5,35 persen atau 312.250 jiwa pada Maret 2025.
“Lebih dari 33 ribu orang keluar dari garis kemiskinan. Ini pencapaian yang patut diapresiasi di tengah gejolak ekonomi global,” ujar Medi dalam pesan tertulis yang diterima Haluan, Selasa (12/8/2025).
Ia menyebut, konsumsi rumah tangga tetap terjaga, terlihat dari kenaikan kredit konsumsi dan jumlah tabungan masyarakat, khususnya menjelang Idul Adha dan liburan sekolah. Penurunan penjualan kendaraan bermotor hingga 48,03 persen, menurutnya, mencerminkan perilaku belanja selektif, bukan penurunan daya beli.
Meski begitu, Medi mengakui belanja pemerintah harus diarahkan lebih produktif. Realisasi belanja dari pemerintah pusat masih didominasi belanja pegawai, sementara belanja modal dari APBN justru turun 58,45 persen. Ke depan, anggaran harus fokus pada sektor yang memberi dampak langsung terhadap ekonomi riil.
Dari sisi investasi, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tumbuh 72,07 persen, namun Penanaman Modal Asing (PMA) turun 8,13 persen. Penurunan impor barang modal sebesar 89,33 persen menunjukkan arus investasi belum sepenuhnya mengarah ke sektor industri luas. Sementara itu, ekspor menopang perekonomian berkat kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO), minyak nabati dan bahan kimia.
Mayoritas sektor usaha tumbuh positif, seperti Informasi dan Komunikasi (9,51 persen), pertanian (4,06 persen), perdagangan (3,67 persen), dan transportasi (3,03 persen). Namun, sektor konstruksi (-0,02 persen) serta akomodasi dan makan minum (-0,65 persen) masih tertekan akibat lambatnya realisasi proyek fisik dan belum pulihnya pariwisata secara merata.