PADANG, HARIANHALUAN.id— Dari sebanyak 1.800 perusahaan kontruksi di Sumatera Barat pada tahun 2020 lalu, saat ini hanya tersisa 275 badan usaha saja.
Demikian dikatakan Ketua Gabungan Asosiasi Pengusaha Konstruksi Indonesia (Gapensi) Sumbar, Afrizal ketika dikonfirmasi Haluan di Padang, Senin (11/8).
Ia mengatakan banyaknya anggota Gapensi Sumbar yang berguguran karena tidak mendapatkan proyek atau pekerjaan sehingga usahanya lambat laun mati.
“Penyebab berkurangnya karena proyek pemerintah sepi. Ditambah lagi dengan efisiensi anggaran saat ini, kondisi kontraktor tentu semakin sulit,” ujar Afrizal.
Ia mengatakan kekecewaan Gapensi semakin bertambah dengan terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2025 tentang percepatan pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi untuk mendukung swasembada pangan.
Ada aturan dalam Inpres tersebut yang menyebutkan proyek pembangunan dan pemeliharaan jaringan irigasi melalui mekanisme swakelola atau penunjukan langsung kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Kebijakan tersebut jelas tidak mempunyai keberpihakan kepada pelaku usaha konstruksi lokal yang dominannya adalah sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM),” ujar Afrizal.
Ia menambahkan aturan tersebut akan
menghilangkan ruang partisipasi bagi pelaku konstruksi skala kecil dan menengah dalam pembangunan infrastruktur .
Hal ini dikatakannya semakin diperparah dengan kecenderungan serupa dalam proyek-proyek lain seperti revitalisasi sekolah yang tak lagi melibatkan kontraktor lokal.
“Banyak pihak sekolah baik di Padang dan daerah yang langsung mengambil alih tanpa melalui proses tender atau pelelangan secara terbuka,” tambahnya.
Ia mengatakan untuk proyek revitalisasi sekolah yang dananya bersumber dari APBN/APBD, tentu saja hal ini menyalahi aturan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
“Kalau terjadi kegagalan pada bangunan siapa yang akan bertanggung jawab? Terlebih ini merupakan bangunan publik yang di sana ramai orang. Kasus ini sudah pernah kejadian d beberapa daerah,” terangnya lagi.
Di Sumbar dikatakannya, lebih dari 95 persennya merupakan perusahaan skala kecil, hanya sekitar 10 badang usaha skala menengah dan hanya 1-3 saja skala besar.
Ia mengatakan perusahaan kontraktor kecil adalah dengan nilai proyek sampai Rp15 miliar, skala menengah bisa mengerjakan proyek dengan nilai Rp15-50 miliar dan perusahaan besar untuk proyek Rp50 miliar ke atas.
Ditambahkannya memang ada aturan yang membatasi BUMN untuk tidak ikut dalam tender proyek konstruksi dengan nilai tertentu, terutama di bawah Rp100 miliar.
“Tetapi demikian pada kenyataannya banyak BUMN yang kemudian membuat anak usaha, agar bisa ikut menggarap proyek dengan nilai yang lebih kecil itu,” kata Afrizal lebih jauh.
Afrizal menyampaikan harapannya agar pemerintah daerah dapat memberikan perhatian dab perlindungan terhadap kelangsungan pengusaha kontruksi lokal.
“Jika ada proyek Penunjukan Langsung (PL) yang sekarang nilainya sudah sampai Rp400 juta, kalau dapat dikerjakan oleh kontraktor lokal,” harapnya lagi.
Ia mengatakan di Kabupaten Sijunjung, hal ini sudah diterapkan oleh pemdanya sehingga kontraktor lokalnya hidup dan bisa mendapatkan pekerjaan.
Ditambahkannya dulu zaman Gubernur Zainal Bakar sudah pernah ada Pergub pekerjaan proyek di bawah Rp10 miliar dikerjakan oleh kontraktor lokal.
“Di Bengkulu hal ini bisa dilakukan. Kita berharap di Sumbar juga bisa diterapkan kembali agar bergairah juga sektor kontruksi lokal dan berputar roda ekonomi,” tutupnya. (h/ita)