“Jangan biarkan BUMD berjalan tanpa arah. Harus ada target dividen tiap tahun, restrukturisasi bagi yang lemah, bahkan merger bila perlu, sehingga perusahaan daerah benar-benar memberi nilai tambah,” terangnya.
Contoh internasional datang dari Seoul, Korea Selatan. Pemerintah kota memanfaatkan lahan publik secara kreatif dengan menggabungkan fungsi ruang hijau dan area komersial. Konsep multifungsi ini tidak hanya menghasilkan pendapatan dari sewa dan iven, tapi juga menaikkan nilai properti di sekitarnya.
“Sumbar bisa belajar bahwa aset publik tak hanya bisa dijadikan kantor atau lahan tidur. Dengan kreativitas, taman budaya, kawasan wisata, atau lahan pemerintah bisa disulap menjadi pusat ekonomi sekaligus menarik wisatawan,” ujarnya.
Singapura juga menjadi teladan. Negara kecil ini menjadikan BUMN/BUMD sebagai mesin penggerak ekonomi, dikelola profesional dengan kontrak kinerja dan target laba jelas. Dividen perusahaan negara menyumbang besar bagi kas negara.
“Perlunya mengelola BUMD dengan standar profesional. Direksi diberi target dividen yang terukur, sementara manajemen yang tidak kompeten harus diganti. Kontrak kinerja bisa memastikan akuntabilitas perusahaan daerah,” ujarnya.
Sementara, New South Wales, Australia, menawarkan konsep asset recycling. Aset lama dijual atau disewakan, lalu hasilnya dipakai membiayai pembangunan infrastruktur baru tanpa menambah utang. Dengan cara ini, infrastruktur tetap berkembang tanpa membebani keuangan negara bagian.
“Bagi Sumbar, strategi ini relevan. Aset idle yang menganggur bisa dijual atau dimonetisasi, dan hasilnya diarahkan untuk proyek strategis. Hal ini akan mendorong percepatan pembangunan tanpa harus bergantung pada utang maupun transfer pusat,” tuturnya. (*)