“Dan itu sebenarnya sudah mulai dilakukan sejak tahun 2025 ini. Misalnya seperti program revitalisasi sekolah. Sebelumnya program ini dikerjakan oleh pemda melalui DAK. Nah, sekarang tidak lagi. Langsung kementerian terkait yang mengerjakan,” katanya.
Namun, terlepas dari semua itu, ia mengakui bahwa kebijakan pemangkasan TKD ini akan berdampak cukup besar bagi daerah. Terlebih karena pemotongan tersebut menyasar seluruh komponen TKD, mulai dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Insentif Daerah (DID), hingga Dana Desa.
Menurut Rosail, yang paling berat dan membebani adalah pemotongan terhadap DAU, khususnya DAU yang Tidak Ditentukan Penggunaannya. Hal ini tak terlepas dari skema peruntukan DAU, di mana sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, alokasi DAU untuk suatu daerah bergantung pada luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, dan angka gini ratio.
“Artinya, semakin rendah tingkat kemiskinan dan semakin baik angka gini ratio, maka DAU yang diterima suatu daerah akan semakin kecil. Pun sebalik, semakin tinggi tingkat kemiskinan dan semakin buruk angka gini ratio, maka besar pula alokasi DAU yang diterima,” katanya.
Dalam hal ini, persoalan muncul lantaran selama ini DAU sebagian besar dialokasikan untuk membayar gaji pegawai. Sementara sisanya digunakan untuk pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM), yang mencakup sejumlah sektor, yakni pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, sosial, serta ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat (trantibumlinmas).
Jika berkaca pada jumlah pemotongan yang akan dilakukan pemerintah pusat tersebut, maka ia khawatir DAU yang akan diterima daerah tahun depan hanya akan cukup untuk membayar gaji pegawai saja. “Nah, akhirnya mau tidak mau anggaran untuk pelaksanaan SPM akan diambil dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Yang mana, bagi sebagian besar daerah ini jelas amat memberatkan,” tuturnya.
Sekalipun demikian, ia melihat hal ini sebagai tantangan bagi pemda dan DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk Pemprov Sumbar sendiri, ia menyebut akan ada pembicaraan kembali dengan DPRD Sumbar terkait skala prioritas APBD Sumbar untuk tahun 2026. Besar kemungkinan akan ada rasionalisasi kembali terhadap APBD 2026.