PADANG, HARIANHALUAN.ID — Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Sumbar, Ferdinal Asmin mengungkapkan bahwa situasi di Mentawai tidak hitam-putih serta tidak sesederhana konsep “legal” dan “ilegal”.
“Kalau ada kayu keluar dari Mentawai, tidak otomatis itu dari kawasan hutan negara. Kami sudah cek ke lapangan, sebagian besar berasal dari luar kawasan hutan atau di hutan produksi,” ujarnya kepada Haluan, Minggu (5/10).
Ferdinal mengakui bahwa pengawasan kehutanan di Mentawai memang masih jauh dari kata ideal. Akses antar pulau yang sulit, keterbatasan SDM, serta kondisi geografis yang ekstrem membuat patroli rutin nyaris mustahil dilakukan secara menyeluruh.
“Personel kami terbatas, sementara wilayah pengawasan sangat luas dan terpisah-pisah. Oleh karena itu, butuh keterlibatan masyarakat setempat untuk ikut menjaga dan memahami batas kawasan,” ujarnya.
Saat ini, Dishut Sumbar tengah memperkuat kolaborasi dengan kementerian terkait, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Mentawai, dan tokoh adat setempat agar pengawasan tak hanya berbasis hukum, tapi juga sosial dan adat. “Masyarakat harus menjadi bagian dari pengawasan. Mereka yang paling tahu batas-batas wilayah mereka sendiri,” kata Ferdinal.
Menurutnya, salah satu solusi alternatif legalisasi aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan adalah lewat skema Perhutanan Sosial. Perhutanan Sosial terdiri dari lima skema utama, yaitu Hutan Nagari, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan. Semua diajukan oleh masyarakat dan diverifikasi berlapis dari nagari hingga kementerian.
Tahun ini, Pemprov Sumbar menargetkan 55 ribu hektare hutan masuk dalam skema Perhutanan Sosial. Angka itu berasal dari berbagai daerah, termasuk usulan hutan adat di Mentawai, Solok Selatan, dan Pasaman.