“Kami tidak membeda-bedakan skema. Yang penting masyarakatnya siap serta paham hak dan kewajiban mereka. Itu namanya Free, Prior, and Informed Consent (FPIC)—persetujuan bebas tanpa paksaan,” ujar Ferdinal.
Dengan mekanisme FPIC, masyarakat diberi ruang untuk memahami penuh sebelum mengajukan usulan. “Jadi bukan karena ada dorongan dari pihak luar, tapi murni dari warga yang memang ingin mengelola hutannya,” katanya.
Beberapa akademisi dan aktivis adat sempat menyoroti kekhawatiran bahwa skema Perhutanan Sosial dapat mengaburkan keberadaan hutan adat. Ferdinal menilai kekhawatiran itu muncul karena kurangnya sosialisasi. Karena Perhutanan Sosial justru bisa menjadi pintu masuk untuk pengakuan hutan adat secara resmi. Hutan adat tetap diakui, hanya saja jalurnya lewat kerangka hukum yang lebih kuat.
Ia menegaskan, Pemprov Sumbar tetap mendorong pengakuan hutan adat di seluruh kabupaten, termasuk Mentawai. “Kami tidak ingin identitas adat hilang. Justru akan kami perkuat agar eksistensi mereka diakui negara,” katanya. (*)