Rafidola menjelaskan, banyak pengelola wisata cenderung meniru konsep destinasi populer tanpa kajian yang matang. Prinsip ATM sering disalahartikan sebagai pembenaran untuk membuat sesuatu secara instan tanpa memperhatikan standar keselamatan, perizinan, dan prosedur operasional pelayanan yang baik.
“Sering kali muncul kalimat, ‘Urang se bisa, baa lo awak ndak bisa? Buek sa lah dulu, mumpung ado investor.’ Padahal, dalam praktik di lapangan, para pengelola tidak semuanya memahami detail dari hal-hal yang mereka tiru itu. Apalagi dalam hal SOP pelayanan, baik atraksi, akomodasi, maupun food and beverage. Padahal, hospitality yang baik dan benar itu adalah kunci kepercayaan wisatawan,” ujarnya.
Terkait dengan rekomendasi penertiban yang sebelumnya telah dikeluarkan DPRD Solok satu bulan sebelum insiden, Rafidola menyebut hal tersebut sebagai langkah positif, namun sayangnya tidak semua rekomendasi dijalankan dengan baik.
“Saya apresiasi DPRD atas rekomendasi yang diberikan, tetapi apakah semuanya dilaksanakan sampai kasus ini terjadi? Dalam penertiban seharusnya tidak boleh ada tebang pilih. Jika memang ada pelanggaran, seharusnya izin tidak diberikan. Jangan sampai ada korban baru kita kalang kabut dan saling menyalahkan. Ini tidak baik dilihat oleh publik,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia menilai kegagalan sistemik seperti ini tidak bisa hanya dibebankan pada satu pihak. Butuh investigasi mendalam agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan. Ia menekankan pentingnya pengawasan dan evaluasi berkala terhadap penerapan Standard Operating Procedure (SOP) di seluruh lini pelayanan wisata, mulai dari keamanan fasilitas hingga tata kelola akomodasi.
“Saat ini yang terpenting adalah memastikan investigasi berjalan mendalam dan menyeluruh. SOP pelayanan pariwisata harus benar-benar dikontrol dan dievaluasi secara berjangka untuk menghindari kejadian serupa,” ucapnya.