Dalam konteks yang lebih luas, Rafidola menilai tragedi di Solok hanyalah “puncak gunung es” dari persoalan perizinan dan keselamatan yang kerap diabaikan di berbagai destinasi wisata baru di Indonesia.
“Kita terlalu mudah memberikan izin pengelolaan wisata tanpa kajian mendalam. Betul, kita butuh pariwisata sebagai sumber pemasukan daerah, tapi jangan vulgar dalam mengelolanya. Kita sering bicara tentang konsep pentahelix atau hexahelix, tapi dalam pemberian izin justru para akademisi dan pakar tidak dilibatkan. Padahal mereka berperan penting dalam kajian dan perencanaan yang matang,” tutur Rafidola.
Rafidola juga menyoroti sisi perilaku wisatawan yang sering kali termakan tren media sosial tanpa mempertimbangkan aspek keselamatan. Menurutnya, fenomena fear of missing out (FOMO) membuat banyak wisatawan berani mengambil risiko hanya demi konten viral.
“Wisatawan sekarang tertarik pada tempat-tempat viral dan kekinian tanpa memikirkan keamanan. Fenomena FOMO membuat orang datang hanya untuk foto di lokasi yang indah tapi berisiko. Misalnya, jembatan di Alahan Panjang yang viral di media sosial, padahal cukup berbahaya jika tidak memperhatikan aspek keselamatan,” katanya.
Menurutnya, edukasi bagi wisatawan juga penting dilakukan agar masyarakat lebih kritis dalam memilih destinasi dan akomodasi yang menjamin keselamatan. Bagaimanapun, pengelola kawasan wisata tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Wisatawan juga perlu lebih sadar dan bijak. Jangan hanya tergoda oleh tampilan visual di media sosial, tetapi pastikan tempat tersebut memiliki standar keamanan dan izin yang jelas.
Tragedi di Kabupaten Solok tersebut seharusnya menjadi momentum bagi seluruh pemangku kepentingan untuk berbenah. Bukan hanya demi citra pariwisata Sumbar, tetapi juga untuk memastikan setiap perjalanan wisata di Indonesia benar-benar aman, nyaman, dan berkelanjutan. (*)